Jumat, 30 Maret 2012

Jelaskan & Berikan contoh implementasi wawasan nusantara

Hakikat Wawasan Nusantara

Hakikat wawasan Nusantara adalah keutuhan nusantara, dalam pengertian: cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup dalam lingkup nusantara demi kepentingan nasional. Hal tersebut berarti bahwa setisp warga bangsa dan aparatur harus berpikir, bersikap, dan bertindak secara utuh dan menyeluruh demi kepentingan bangsa dan negara indonesia. Demikian juga produk yang dihasilkan oleh lembaga negara harus dalam lingkup dan demi kepentingan bangsa dan negara indonesi, tanpa menghilangkan kepentingan lainnya, seperti kepentingn daerah, golongan dan orang per orang
I. Asas Wawasan Nusantara
Asas Wawasan Nusantara merupakan ketentuan-ketentuan atau kaidah –kaidah dasar yang harus di patuhi, ditaati, dipelihara, dan diciptakan demi tetap taat dan setainya komponen pembentuk bangsa indonesia.(suku bangsa atau golongan)terhadap kesepakatan bersama. Harus disadari bahwa jika asas wawasan nusantara di abaikan, komponen pembentukkesepakatan bersamaakan melanggar kesepakatan bersma tersebut, yang berarti bahwa tercerai berainya bangsa dan negara indonesia.
            Asas Wawasan Nusantara terdiri dari : kepentingan bersma, tujuan yang sama, keadilan, kejujran, dan kesetian terhdapa ikrar atau kesepakatan bersamademi terpeliharannya persatuan dan kesatuan dalam ke bhinekaan :   
            Adapun rincian asas tersebut beruap:
1.Kepentingan yang sama,. Ketika menegakan dan merebut kemerdekaan, kepentingan be  sama bangsa indonesia adalah menghadapi penjajahan secra fisik dari bangsa lain. Sekarang,      bangsa indonesia harus menghdapai jenis penjajahan yang berbeda dari negara asing. Misalnya kehidupan dalam negeri bangsa indonesiamendapat tekanan dan paksaan baik secara halus maupun kasar dengan cara adu domba dan pecah belah bangsa dengan mengunakan dalih HAM, demokrasi, dan lingkungan hidup. Sementara itu tujuan yang sama adalah tercapainya kesehjateraan dan rasa amanyang lebih baik dari sebelumnya
2.Keadilan, yang berarti kesesuaian pembagian hasil dengan dengan andi, jeri payah usaha, dan kegiatan  baik orang per orangan, golongan, kelompok maupun daerah.
3.Kejujuran yang berarti keberanian berpikir, dan bertindak sesuai realita serta ketentuan yang benar biarpun realita atau ketentuan itu pahit dan kurang enak di dengar. Demi kenenaran dan kemajuan bangsa dan negara. Hal ini harus dilakukan.
4.Solidaritas yang berarti diperlukan rasa setia kawan, mau memberi dan berkorban bagi orang lain tanpa meninggalkan ciridan karakter budaya masing-masing.
5.Kerja sama berarti adanya koordianasi, saling pengertian yang didasarkan atas kesetaraan sehingga kerja kelompok yang kecil maupun yang lebih besar dapat tercapai demi terciptannya sinergi yang lebih baik.
6.Kesetisn terhdap kesepakatan bersama untuk menjadi bangsa dan mendirikan Negara Indonesia yang di mulai, di cetuskan dan dirintis oleh Boedi Oetomo pada tahun 1908, Sumpah Pemuda tahun 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kesetian terhadap kesepakatan bersama ini sangatlah penting dan menjadi tongak utama terciptannya persatuan dan kesatuan dalam ke bhinekaan. Jika  kesetian terhadap kesepakatan bersama ini goyah  apalagi ambruk, dapat di pastikan bahwa persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan bangsa indonesia akan hancur berantakan pula. Ini berarti hilangnya Negara kesatuan Indonesia.
J. Arah Pandang.
Dengan latar belakang budaya, sejarah, kondisi, konstelasi geogrfi, dan perkembangan lingkungan strategis, arah pandang wawasan Nusantara  me;iputi arah pandan je dalam dan ke luar.
1.Arah Pandan Ke Dalam
Arah Pandang ke dalam bertujuan menjamin perwujudan persatuan kesatuan segenap kehidupan nasional, baik aspek ilmiah maupun aspek sosial. Arah pandang ke dalam mengandung arti bahwa bangsa indonesia harus peka dan berusahauntuk mencegah dan mengatasi sedini mungkin faktor-faktor penyebab timbulnya disintegrasi bangsa dan harus mengupayakan tetap terbina dan terpeliharanya persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan.
2.Arah Pandang Ke Luar
Arah Pandang keluar di tunjukan demi terjaminnya kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah maupun dalam negeri serta dalam melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, serta kerja sama dan sikap saling hormat- menghormati. Arah pandang ke luar mengandung arti bahwa dalam kehidupan internasionalnya, bangsa indonesai harus berusaha mengamankan kepentingan nasionalnya dalam semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanan demi terciptannya tujuan nasional sesaui dengan yang tertera pada Pembukaan UUD 1945
K. Kedudukan, Fungsi dan Tujuan
1. Kedudukan
a. wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional bangsa indonesia merupakan ajaran yang dinyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat agra tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai dan mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. Dengan demikian, wawasan Nusantara menjadi landasan visional dalam menyelenggarakan  kehidupan nasional.
b. wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari stratifikasinya sebagai berikut :
1) Pancasila sebagai falsafah, ideologi bangsa dan dasar negara berkedudukan sebagai   landasan idiil
2)  Undang- undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi negara, berkedudukan sebagai landasan konstitusional
3)  Wawasan Nusantara sebagai visional, berkedudukan sebagai landasan visional
4)  Ketahan Nasional sebagai konsepsi nasional, berkedudukan sebagai landasan konseptional
5)  GBHN sebagai politik dan strategi nasional atau sebagai kebijaksanaan dasar nasional, berkedudukan sebagai landasan operasional
2. Fungsi
Wawsan Nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan, serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan perbuatan bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Tujuan
Wawasan Nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakyat indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa atau daerah. Hal tersebut bukan berati menghilangkan kepentingan –kepentingan individu, kelompok, suku bangsa atau daerah. Kepentingan tersebut tetap di hormati, diakui dan di penuhi selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat banyak. Nasionalisme yang tinggi di segala bidang kehidupan demi tercapainya tujuan nasional tersebut  merupakan pancaran demi dari meningkatnya rasa, paham, dan semangat kebangsaan dalam jiwa bangsa indonesiasebagai hasil pemahaman dan peghayatan wawasan nusantara.

L.        Sasaran Implementasi Wawasan Nusantara Dalam Kehidupan Nasional

Sebagai cara pandang dan visi nasional Indonsia, wawasan nusantara harus di jadikan arahan, pedoman, acuan, dan tuntunan bagi setiap individu bangsa Indonesia dalam membangun dan memelihara tuntutan bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia.Karena itu, implementasi atau penerapan wawasan nusantara harus tercemin pada pola fikir, pola sikap, dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia daripada kepentingan pribadi atau kelompok sendiri. Denagn kata lain, wawasan nusantara menjadi pola yang mendasari cara berfikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka, menghadapi, menyikapi, atau menangani berbagai permasalahan menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Implementasi wawasan nusantara senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh sebagai berikut :
1.    Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis.Hal tersebut nampak dalam wujud pemerintahan yang kuat aspiratif dan terpecaya yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
2.    Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan ekonomi akan mennciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata dan adil. Di samping itu, implementasi Wawasa Nusantara mencerminkan tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat antardaerah secara timbal bbalik serta kelestarian sumer daya alam itu sendiri.
3.    Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui, menerima ,dan menghormati segala bentuk perbedaan atau ke bhinekaan sebagai kenyataan hidup sekaigus karunia sang pencipta. Implementasi ini juga
akan menciptakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan bersatu tanpa membedabedakan suku, asal usul daerah, agama atau kepercayaan, serta golongan berdasarkan status sosialnya.
4.    Implementasi Wawasan Nusantara dalam kehidupan hankam akan menumbuh-kembangkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa. Yang lebih lanjut akan membentuk sikap bela negara pada setiap warga negara Indonesia. Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa serta bela negara ini akan menjadi modal utama yang akan menggerakan partisipai setiap warga negara Indonesia dalam menanggapi setiap bentuk ancaman, seberapapun kecil'y dan darimana pun datangnya, atau setiap gejala yang membahayakan keselamatan bangsa dan kedaulatan negara.

Dalam pembinaan seluruh aspek kehidupan nasional sebagai mana di jelaskan di atas, implementasi wawasan nusantara harus menjadi nilai yng menjiwai segenap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada setiap strata di seluruh wilayah negara. Di samping itu wawasan nusantara dapat di implementasikan ke dalam segenap pranata sosial yang berlakuu di masyarakat dalam nuansa kebinekaan sehingga mendinamisasikan kehidupan sosial yang akrab, peduli, toleran, hormat dan taat hukum.Semua itu menggambarkan sikap, paham dan semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi sebagai identitas atau jati diri bangsa Indonesia.
           
M. Pemasyarakatan / Sosialisasi Wawasan Nusantara
Untuk mempercepat tercapainya tujuan wawasan nusantara, disamping implementasi seperti tersebut di atas, perlu juga dilakukan pemasyarakatan materi wawasan nusantara kepada seluruh masyarakan Indonesia.Pemasyarakatan wawasan nusantara tersebut dapat dilakukan dengan cara berikut :
1.    Menurut sifat / cara penyampaiannya, yang dapat dilaksanakan sebagai berikut.

a.    Langsung, yang terdirri dari ceramah, diskusi, dialog, tatap muka.
b.    Tidak langsung, yang terdiri dari media elektronik, media cetak.

2.    Menurut metode penyampaiannya yang berupa :

a.    Keteladanan. Melalui metode panularan keteladanan dalam sikap prilaku kehidupan sehari-hari kepada lingkungannya, terutama dengan memberikan contoh-contoh berfikir, bersikap dan bertindak mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan atau golongan, sehingga timbul semangat kebangsaan yang selalu cinta tanah air.
b.    Edukasi, yakni melalui metode pendekatan formal dan informal. Pendidikan formal ini dimulai dar tingkat taman kanak-kanak sampai pengguruan tinggi, pendidikan karier di semua strata dan bidang profesi, penataan atau kursus-kursus, dan sebagainya. Sedangkan pendidikan non formal dapat di pemukiman, pekerjaan, dan organisasi kemasyarakatan.
c.    Komunikasi. Tujuan yang ingin dicapai dari sosialisasi Wawasan Nusantara melalui metode komunikaif secara baik yang akan mampu menciptakan iklim saling menghargai, menghormati, mawas diri, dan tenggang rasa sehingga tercipta kesatuan bahasa dan tujuan tentang Wawasan Nusantara.
d.     Integrasi. Tujuan yang ingin di capai dari permasyarakatan/sosialisasi Wawasan Nusantara melalui metode integrasi adalah terjalinnya persatuan dan kesatuan. Pengertian serta pemahaman tentang Wawasan Nusantara akan membatasi sumber konflik di dalam tubuh bangsa Indonesia baik pada saat ini maupun di masa mendatang dan akan memantapkan kesadaran untuk mengutamakan kepentingan nasional dan cita-cita serta tujuan nasional.

      Dalam melaksanakan pemasyarakatan, lingkup materi Wawasan Nusantara yang disampaikan hendaknya disesuaikan dengan tingkat, jenis, serta lingkungan pendidikan agar materi yang disampaikan tersebut dapat dimengerti dan dipahami. Dengan cara ini penrima materi akan memiliki kesatuan cara pandang yang sama yaitu Wawasan Nusantara.
N.  Tantangan Implementasi Wawasan Nusantara
Dewasa ini kita menyaksikan bahwa kehidupan individu dalam bermasyarakat, berbangsa, dan kita juga menyadari bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah nilai-nilai kehidupn baru yang dibawa oleh negara maju dengan kekuatan penetrasi globalnya. Apabila kita menengok sejarah kehidupan manusia dan alam semesta, perubahan dalam keehidupan itu adalah suata hal yang wajar, alamiah. Dalam dunia ini, yang abadi dan kekal itu adalah perubahan. Berkaitan dengan Wawasan Nusantara yang sarat dengan nilai-nilai budaya bangsa dan di bentuk dalam proses panjang sejarah perjuangan bangsa, apakah wawasan bangsa Indonesia tentang persatuan kesatuan itu akan hayut tanpa bekas atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai global yang menantang wawasan persatuan bangsa? Tantangan itu antara lain adalah: pemberdayaan rakyat yang optimal, dunia yang tanpa batas,era baru kapitalisme, dan kesadaran warga negara.
1.    Pemberdayaan Masyarakat

a.  John Naisbit. Dalam bukunya Global paradox, ia menulis "To be a global powers, the company must give more role to th smallest part."Pada intinya, Global Paradok membeikan pesan bahwa negara harus dapat memberikan peranan sebesar-besarnya kepada rakyanya. Pemberdayaan masyarakat-dalam arti memberikan peran alam bentuk aktivitas dan partisipasi masyarakat untuk mencapai tujuan nasional-hanya dapat dilakanakan oleh negara-negara yang sudah maju yang menjalankan Buttom up Planning Sedangkan negara-negara berkembang, seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih melaksanakan program Top Down Planning karena keterbatasan kualitas SDM. Karena itu, NKRI memerlukan landasan operasional berupa GBHN (garis-garis Haluan Negara).
b.  Kondisi Nasional. Pembangunan Nasional secara menyeluruh belum merata, sehingga masih ada beberapa daerah yang tertinggal pembangunan sehingga menimbulkan keterbelakangan aspek kehidupannya. Kondisi tersebut menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial di masyarakat. Apabila kondisi ini berlarut-larut, melalui isu global yang mencakup demokratisasi, HAM (hak asasi manusia), dan lingkungan hidup. Strategi baru yang di tegaskan oleh Lester Thurow pada dasarnya telah tertuang dalam nilai-nilai falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang mengamanatkan kehidupan yang serasi,selaras, dan seimbang antara individu, masyarakat, bangsa, serta semesta dan penciptanya.
     Dan uraian di atas taampak bahwa kapitalisme yang semula dipratekkan untuk keuntungan diri sendiri kemudian berkembang menjadi strategi baru guna mempertahankan paham kapitalisme di era globalisasi dengan menekan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, melalui isu global. Hal ini sangat perlu diwaspadai karena merupakan tantangan bagi Wawasan Nusantara.
4 .  Kesadaran Warga Negara
a.     Pandangan Bangsa Indonesia tentang Hak dan Kewajiban. Bangsa Indonesia melihat hak tidak terlepas dari kewajiban. Manusia Indonesia, baik sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat, mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Hak dan kewajiban dapat di bedakan namun tidak dapat di pisahkan karena merupakan satu kesatuan. Tiap hak mengandung kewajiban dan demikian pula sebaliknya. Kedua-duanya merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Negara kepulauan Indonesia yang menganut paham Negara Kesatuan menempatkan kewajiban di muka. Kepentingan umum masyarakat, bangsa, dan negara harus lebih di utamakan daripada kepentingan pribadi atau golongan.
b.     Kesadaran Bela negara. Pada waktu merebut dan mempertahankan kemerdekaan, Indonesia menunjukan kesadaran bela negara yang opyimal, dimana seluruh rakyat bersatu paduberjuang tanpa mengenal perbedaan, pamrih dan sikap menyerah yang timbul dari jiwa heroisme dan patriotisme karena perasaan senasib sepenanggungan dan setia kawan dalam perjuangan fisik mengusir penjajah. Dalam mengisi kemerdekaan, perjuangan yang dihadapi adalah khususnya dalam memeangi keterbelakangan, kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi, kolusi dan nepotisme, dan dalam mengusai IPTEK, meningkatkan kualitas SDM, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Di dalam perjuangan non fisik, kesadaran bela negara mengalami penurunan fisik. Hal ini tampak dari kurangnya rasa prsatuan dan kesatuan bangsa dan adanya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari NKRI sehingga mengarah ke disintegrasi bangsa.
Dari uraian di atas mengenai pandangan bangsa Indonesia tentang hak dan kewajiban serta kesadaran bela negara yang di kaitkan dengan kesadaran warga negara secara utuh, tampak kesadaran di dalam persatuan dan kesatuan mengalami penurunan. Anak-anak bangsa belum sepenuhnya sadar bahwa, sebagai warga negara, mereka harus selalu megutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan. Kondisi ini merupakan tantangan bagi Wawasan Nusantara.
O. Prospek Implementasi Wawasan Nusantara
Beberapa teori mengemukakan pandangan global sebagai berikut:
1.    Global Paradok memberikan pesan bahwa negara harus mampu memberikan peranan sebesar-besarnya kepada rakyatnya.
2.    Borderless World dan The End of Nation State mengatakan bahwa batas wilayah geografi relatif tetap, tetapi kekuatan ekonomi dan budaya global akan menembus batas tersebut. Selanjutnya pemerintah daerah perlu di beri peranan yang lebih berarti.
3.    Lester Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism memberi gambaran bahwa strategi baru kapitalisme adalah mengupayakan kesimbangan antara kepentingan individu (kelompok) dan masyarakat banyak serta antara negara maju dan negara berkembang.
4.    Hezel Handerson dalam bukunya Building Win Win World mengatakan bahwa perlu ada perubahan nuansa perang ekonom menjadi masyarakat dunia yang bekerja sama memanfaatkan teknologi yang bersih lingkungan serta mewujudkan pemerintah yang lebih demokratis.
5.    Ian Marison dalam bukunya The Second Curve menjelaskan bahwa dalam era baru timbul adanya peran pasar, konsumen, dan teknologi baru yang lebih besar yang membantu terwujudnya masyarakat baru.

Di antara pesan-pesan yang di sampaikan dalam nilai yang berkekuatan global di atas ternyata tidak satu pun yang menyatakan tentang perlu adanya persatuan bangsa untuk menghindari konflik antarbangsa yang timbul karena kepentingan nasionalnya tidak terpenuhi. Dapat di ambil kesimpulan bahwa wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonnensia dan sebagai visi nasional yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa masih tetap valid balik untuk saat maupun masa mendatang. Prospek Wawasann Nusantara dalam era mendatang masih tetap relevan dengan norma-norma global. Untuk menghadapi gempuran nilai global, fakta kebhinekaan dalam setiap rumusan yang memuat kata persatuan dan kesatuan perlu lebih di tekankan. Dalam Implementasi, peranan daerah dan rakyat kecil perlu lebih di berdayakan. Hal tersebut dapat di wujudkan apabila faktor-faktor dominan berikut ini di penuhi: keteladanan kepemimpin nasional, pendidikan yang berkualitas dan bermoral kebangsaan,media massa yang mampu memberikan informasi dan kesan yang positif, serta keadilan dalam penegakan hukum dalam arti pelakanaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Wawasan Nusantara



A.  Teori kekuasaan
Wawasan nasional suatu bangsa di bentuk dan di jiwai oleh paham kekuasaan dan geopolitik yang di anutnya. Berapa paham kekuasaan dan teori geopolitik di uraikan sebagai berikut:
1.     Paham paham kekuasaan
Perumusan wawasan nasional lahir berdasarkan pertimbangan dan pemikiran mengenai sejauh mana konsep operasionalanya dapat di wujudkan dan di pertanggung jawabkan.
Teori- teori yang dapat menndukung rumusan tersebut antaralain:
a.       Paham Machiaveli (abad xvii)
Gerakan pembaharuan yang di picu oleh masuknya ajaran islam di eropa barat sekitar abad VII telah membuka dan  mengembangkan cara pandang bangsa –bangsa eropa barat sehingga menghasilkan peradaban berat modern seperti sekarang.
b.      Paham Kaisar  Napoleanbonaparte (Abad XVII)
Kaisar nnapolean merupakan tokoh repolusioner dubidang cara pandang, selain penganut yang baik dari machiavelii. Napoleon berpendapat bahwa perang masa depan merupakan perang total yang mengarahkan segala daya upaya dan kekuatan nasional.
c.       Paham Jenderal Clausewit ( abad XVII)
Jenderal clausewit sempat di usir oleh tentara napoleon dari negaranya sampai ke rusia. Clausewit akhirnya bergabung dan menjadi penasehat militer staff umum tentara kekaisaran rusia. Menurut clausewt perang adalah kelanjutan politik dengan cara lain. Baginya peperangan adalah sah –sah saja untuk mencapai tujuan nasional bangsa.
d.      Paham Feuerbach dan Hegel
Paham materialism Feuerbach dan teory sintesis Hegel menimbulkan dua aliran besar berat yang berkembang di dunia yaitu, kapitelisme di satu pihak dan komunisme di pihak lain.
e.       Paham Lenin ( abad XVX)
Dalam buku political culture and political development( princeton university press, 1972)
Para ahli tersebut  menjelaskan adanya unsure -  unsure subjekvitas dan phisikologis dalam tataan dinamika kehidupan politik suatu bangsa, kemamupan suatu system politik dapat di capai apabila system tersebut terbakar pada kebudayaan politik bangsa yang semata-mata di tentukan oleh kondisi –kondisi objektif tetapi juga subjektif dan psikologis.
Geoplitik berasal dari kata “ geo” atau bumi dan politik yang berarti kekuatan yang di dasarkan pada pertimbangan- pertimbangan dasar dalam menentukan alternative kebijakan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional. Beberapa pendapat dari pakar – pakar geopolitik antara lain:
a.       Pandangan Ajaran Frederich Ratzel
Pada abad ke  -19, frederich ratzel merumuskan untuk pertama kalinya ilmu bumi politik sebagai hasil penelitiaannya  yang ilmiah dan universal. Pokok – pokok ajaran frederich sebagai berikut.
1.      Dalam hal – hal tertentu pertumbuhan Negara  dapat dianalogikan dengan pertumbuhan organisme yang memerlukan ruang lingkup, melalui proses lahir, tumbuh, berkembang, mempertahankan hidup, menyusut dan mati.
2.      Negara identik dengan suatu ruang yang di tempati oleh kelompok  politik dalam arti kekuatan. Makin luas potensi tersebut, makin besar kemun gkinan kelompok politik itu tumbuh.
3.      Suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak lepas dari hokum alam.
4.      Semakin tinggi budaya suatu bangsa, semakin mbesar kebutuhannya akan sumber daya alam.
b.      Pandangan agama Rudolf kjellen
Kjellen melanjutkan ajaran rathel tentang teori organism.
1.      Negara merupakan satuan biologis, suatu organisme hidup, yang memiliki intelektual. Negara dimingkinkan untuk memperoleh ruang yang cukup luasagar kemampuan dan kekuatan rakyatnya dapat berkembang secara bebas.
2.      Negara merupakan suatu system politik/ pemerintahan yang meliputi bidang – bidang: geopolitik, ekonomi politik, demo politik, social politik, dan krato politik.
3.      Negara tidak harus bergantung pada sumber pembekalan luar,
c.       Pandangan ajaran Karl Haushofer
Pandangan karl Haushofer berkembang di jerman ketika Negara ini berada dibawah kekuasaan adolft hilter.
Haushofer menganut teori/ pandangan klellen yaitu:
1.      Kehausan imperium daratan yang kompak akan dapat mengejar kekuasaan imperium maritime untuk menguasai penguasaan laut.
2.      Beberapa Negara besar di dunia akan timbul dan akan menguasai eropa, afrika, asia barat, serta jepang di asia timur.
3.      Rumusan ajaran Haushofer lainnya adalah sebagai berikut, geopoitik adalah sebagai doktrin Negara yang menitikberatkan soal- soal strategi perbatasan.
d.      Pandangan ajaran sir halford Mackinder
Teori ahli geopolitik ini pada dasarnya menganut “ konsep kekuatan” dan mencetuskan wawasan benua yaitu konsep kekuatan di darat. Ajarannya mengatakan: barang siapa dapat menguasai “ daerah jantung” yaitu Eurasia (eropa asia), ia akan dapat menguasai pulau dunia.
e.       Pandangan ajaran sir walter Raleigh dan Alfred thyer mahan
Kedua ahli ini mempunya gagasan “ wawasan bahari” yaitu kekuatan lautan. Ajarannya mengatakan bahwa barang siapa menguasai lautan akan menguasai “ perdagangan” menguasai perdagangan berart menguasai   “ kekayaan dunia” Sehingga akhirnya menguasai dunia.
f.       Pandangan ajaran w.mithel, a savesky, giulio, dan jhon frederik Charles fuller Keempat ahli geopolitik ini berpendapat bahwa kekuatan justru yang paling menentukan. Mereka melahirkan teori “ wawasan dirgantara” yaitu konsep kekuatan di udara. Kekuatan di udara hendaknya mempunyai daya yang dapat di andalkan.
g.      Ajaran Nicholas j. spykman
Ajaran ini menghasilkan teory yang dinamakan teory daerah batas (rimland), yaitu teori wawasan kombinasi yang menggabungakan kekuatan darat, laut, dan udara.
B.   Ajaran Wawasan Nasional Indonesia
Wawasan nasional Indonesia merupakan wawasan yang dikembangkan secara universal.
Wawasann tersebut dibentuk dan dijiwai oleh paham kekuasan bangsa Indonesia dan   geopolitik Indonesia.
1.      Paham kekuasaan bangsa Indonesia
2.      Geopolitk\ik Indonesia
3.      Dasar pemikiran wawasan nasional Indonesia.
C.     Latar Belakang Filosofis Wawasan Nusantara.
1.      Pemikiran Yang Berdasarkan  Falsafah Pancasila
Berdasarkan falsafah pancasila, manusia Indonesia adalah makhlik ciptaan Tuhan yang mempunyai naluri, akhlak, daya fikir, dan sadara akan keberadaanya yang serba terhubung dengan sesame lingkungannya, alam semesta, dan penciptanya.
Dengan demikian, nilai – nilai pancasila sesungguhnya bersemanyam dan berkembang dalam hati sanubari dan kesadaran bangsa Indonesia. Nilai- nilai pancasila juga tercakup dalam pengalian dan pemgembangan wawasan nasional sebagai berikut;
a.                   Sila  keTuhanan yang maha Esam
b.                  Kemanusiaan yang adil dan beradap
c.                   Sila persatuan Indonesia
d.                  Sila kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan
permusyawatan/ perwakilan
e.                   Sila keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari uraian di atas tampak bahwa wawasan kebangsaan atau wawasan nasional yang di anut dan dikembangkan oleh bangsa inonesia merupakan pancaran dari pancasila sebagai  falsafah hidup bangsa Indonesia, karena itu wawasan nasional Indonesia menghendaki terciptanya kesatuan dan persatuan tanpa menghilangkan cirri, filsafat, dan karakter dari kebinekaan unsure- unsur pembentuk bangsa( suku bangsa, etnis,golongan, serta daerah itu sendiri)
2.     Pemikiran Berdasarakan Aspek Kewilayahan Nusantara
Geografi adalah wilayah yang tersedia dan terbentuk secara ilmiah oleh alam nyata. Kondisi objektif geografis sebagai modal dalam pembentukan suatu Negara merupakan suatu ruang gerak hidup suatu bangsa yang di dalamnya terdapat sumber kekayaan alam dan penduduk yang mempengaruhi pengambilan keputusan/ kebijaksanaan politik Negara tersebut.
Kondisi objektif nusantara merupakan untaian ribuan pulau yang tersebar dan terbentang di khatulistiwa serta letak pada posisi silang yang sangat strategis, memilikki kharateristik serta terletak pada posisi silang yang sangat strategis, memiliki kharateristik dari Negara lain.
3.     Pemikiran Berdasarkan Aspek Social Budaya.
Budaya atau kebudayaan  dalam arti etimologis  adalah segala sesuatu yang di hasilkan oleh kekuatan budi manusia. Karna manusia tidak hanya bekerja dengan kekuatan budinya, melainkan juga dengan perasaan, imajinasi, dan kehendaknya, menjadi lebih lengkap jika kebudayan di ungkapkan , sebagai cita, rasa,( budi, prasaan dan kehendak).
4.     Pemikiran Berdasarkan Aspek Kesejahteraanya
Perjuangan suatu bangsa meraih cita –citanya pada umumnya tumbuh dan berkembang, dari latar belakang sejahrahnya. Sejarah indonesiapun di awali dengan Negara – Negara kerajaan tradisional yang pernah ada di wilayah nusantara melalui kedutaan sriwijayadan kerajaan majappahit. Kedua kerajaan tersebut bertujuan mewujudkan kesatuan willayah. Meskipun saat itu belum timbul adanya ras kebangsaan, namun  sudah timbul semangat bernegara.
E. Implementasi Wawasan Nusantara Dalam Kehidupan Nasional
1. Pengantar Implementasi Wawasan Nusantara
Dalam rangka menerapkan wawasan nusantara, kita sebaliknya rerlebih dahulu mengerti dan memahami pengertian, ajaran dasar, hakikat,  asas, kedudukan, fungsi serta tujuan darai wawasan nusantara dalam kehidupan nasional yang mencakup kehidupan politik, ekonomi soasial biudaya, pertahanan keamanan harus tercermin dalam pola pikir, pola sikap, pola tinda yang senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan nagara kesatuan republik bangsa Indonesia di atas kepentingan pribadi dan golongan. Dengan demikian, wawasan nusantara menjadi nilai yang menjiwai segenap peraturanperundang-undngan yang berlaku pada setiap strata Negara, sehingga menggambarkan sikap dan perilaku paham serta semangat kebangsaan atau nasiolisme yang merupakan identitas atau jati diri bangsa Indonesia.
2.  Pengertian Wawasan Nusantara
1.      Pengertian Wawasan Negara berdasarkan ketetapan majelis permusyawaratan   rakyat tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN adalah sebagai berikut.
Wawasan nusantara merupakan wawasan nasional yang bersumber pada pancasila yang berdasarkan UUD 1945 adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai jati diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakatan berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
2.      Pengertian Wawasan Nusantara menurut prof. DR. Wan  usman ( ketua program s-2 pkn-ui; wawasan Nusantara adalah cara pandang bagsa Indonesia mrngrnai diri dan tanah airnya sebagai Negara kepulawan dengan aspek kehidupan yang beragam.
3.      Pengertian wawasan nusantara, menurut kelompok kerja wawasan nusantara, yang di usulkan menjadi ketetapan manajemen permusyawaratan rakyat dan dubuat di lemhannas tahun 1999 adalah sebagai berikut:
Cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dan serba ragam dan bernilai stragis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyaraka, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai kehidupan nasional.
F. Ajaran Wawasan Dasar  Nusantara
1)      Wawasan Nusantara Sebagai Wawasan Nasional Indonesia
Sebagai bangsa yang majemuk yang telah bernegara, berbangsa Indonesia dalam membina dan membangun atau menyelenggarakan kehidupan nasionalnya, baik pada aspek polotik, ekonomi, sosbud maupun hankamnya, selalu mengutamakan persatuan bangsa serta kesatuan wilayah.
Gagasan dalam membina persatuan dan kesatuan kebinekaan tersebut merupakan cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya, yang dikenal dengn istilah wawasan kebangsaan dan wawasan nasional Indonesia dan diberi nama wawasan nusantara disingkat “wasantara”
2)      Landasan idiil: pancasila
Pancasila telah di akui sebagai ideology dan dasar Negara yang terumuskan dalam pembukaan UUD 1945. Pada hakikatnya, pancasila mencerminkan nilai keseimbangan, keserasian, keselaran, persatuan dan kesatuan, kekeluargaan, kebersamaan dan kearifan dalam kehidupan nasional.
3)      Landasan konstitusional: UUD 1945
UUD 1945 merupakan konstitusi dasar yang menjadi pedoman pokok dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bangsa Indonesia bersepakat bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan indnesia yang berbentuk repoblik dan berkedaulatan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh majelis perusyawaratan rakyat.
G. Unsur Dasar Konsepsi Wawasan Nusantara
1.Wadah
Wadah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara meliputi seluruh    wilayah Indonesia yang memiliki kekayaan alam dan penduduk dan aneka ragam aneka ragam budaya.
2. Isi
Isi adalah aspirasi bangsa yang berkembang dimasyarakat  dan cita- cita serta tujuan nasional yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Untuk mencapai aspirasi yang Berkembang di masyarakat maupun cita- cita tujuan nasional seperti tersebut di atas, berbangsa Indonesia harus mampu menciptakan persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan dalam kehidupan nasional.
3    Tatalaku
Tatalaku merupakan hasil interaksi antara wadah dan isi, yang terdiri dari tatalaku batiniah dan lahiriah. Tatalaku batiniah mencerminkan, jiwa, semangat, dan mentalitas yang baik dari bangsa Indonesia, sedangkan tata laku lahiriah tercermin dalam tindakan, perbuatan dan perilaku bangsa Indonesia.
H. Hakikat Wawasan Nusantara
Hakikat dan wawasan nusantara adalah keutuhan nusantara, dalam pengertian: cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup nusantara demi kepentingan nasional.
Asas Wawasan Nusantara.
Asas wawasan nusantara merupakan ketentuan- ketentuan atau kaidah- kaidah dasar yang harus dipatuhi, ditaati, dipelihara, dan diciptakan dami tetap taat dan setianya komponen pembentuk bangsa Indonesia (  suku bangsa dan golongan)
terhadap kesepakatan bersama.
Asas  wawasann nusantara terdiri dari: kepentingan yang sama, tujuan yang sama, keadilan yang sama , kejujuran solidaritas,kerjasama, dan kesetiaan terhadap ikrar atau kesepakatan bersama demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan dalam kebinekaan.
Adapun rincian dari asas tersebut berupa
1.      Kepentingan yang sama,
2.      Keadilan,
3.      Kejujuran,
4.      Solidaritas,,
5.      Kerja sama berarti adanyaa koordinasi
6.      Kesetiaan terhadap kesepakatan bersama.
J. Arah Pandang
Dengan latar belakang budaya, sejarah, kondisi, konstelegasi geografi, dan perkembangan lingkungan strategis, arah pandang dan wawasan nusantara meliputi arah pandang kedalam dan keluar.
1.      Arah pandang kedalam
Arah pandang kedalam bertujuan menjamin perwujudan persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional, baik aspek alamiah, maupun aspek social.
2.      Arah pandang keluar
Arah pandang keluar di wujudkan terjaminnya kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah maupun kehidupan dalam negeri serta dalam melaksanakan ketertiban dunia.
K. Kedudukan, Fungsi Dan Tujuan
1.      Kedudukan
a.       Wawasan nusantara sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia merupakan   ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai dan mewujudkan cita- cita dan tujuan nasional.
b.Wawasan nusantara dalam paradigm nasional.
2. Fungsi
Wawasan nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan serta  rambu-  rambu dalam menentukan keputusan dan tindakab sluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan, bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
3  Tujuan
Wawasan nusantara bertujuan mewujudkan nasiolisme yang tinggi disegala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan individu , kelompok, golongan dan suku bangsa.
L. Sasaran Implementasi Wawasa Nusantara Dalam Kehidupan Nasional.
Implementasi wawasan nusantara sementara beriorentasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh.
M. Permasyarakatan/ Sosialisasi Wawasan Nusantara
Untuk mempercepat tercapainya tujuan wawasan nusantara, disamping implementasi seperti tersebut di atas, perlu dilakukan pemasyarakatan materi wawasan nusantara kepada seluruh bangsa Indonesia.
N. Tantangan Implementasi Wawasan Nusantara
1. Pemberdayaan Masyarakat
a.       Glonbal paradox memberikan pesan bahwa Negara harus dapat    memberikanperanan sebesar- besarnya pada masyarakatnya.
b.      Kondisi nasional. Kehidupan nasional secara menyeluruh sebelum merata, sehingga masih ada beberapa  daerah yang tertinggal pembangunannya sehingga menimbulkan keterbelakangan aspek kehidupannya.
2. Dunia Tanpa Batas

Rabu, 14 Maret 2012

KONFLIK KEWARGANEGARAAN


57 Sengketa Lahan di Sumsel Rawan Konflik

Kabar Palembang - Sumsel memang potensial untuk penanaman kelapa sawit.  Menurut data Dinas Perkebunan Sumsel, hingga tahun 2010 luas perkebunan kelapa sawit di provinsi ini mencapai 818.248 hektar—lebih cepat dari rancangan tata ruang wilayah (RTRW) semula.
Seharusnya, luas kebun sawit lebih dari 800 hektar di Sumsel tersebut baru tercapai pada tahun 2012.
Namun, kepemilikan lahan sawit ini timpang. Sebanyak 55,56 persen kebun sawit di Sumsel itu merupakan kebun inti perusahaan. Sisanya sebanyak 28,89 persen merupakan kebun plasma, dan hanya 15,55 persen yang merupakan kebun sawit rakyat. Tidak itu saja yang membuat nyinyir banyak pihak. Sejumlah perkebunan sawit di Sumsel itu dimiliki perusahaan asing sehingga banyak keuntungan sawit mengalir ke luar negeri.
Badan Pertanahan Nasional Sumatera Selatan mencatat, saat ini ada 30 lahan perkebunan yang sengketanya belum terselesaikan.
Bicara sengketa lahan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan punya data sendiri dan kasus kekerasan yang terjadi antara Desa Sodong dan pihak swasta di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, hanyalah satu dari banyak kasus perebutan lahan yang berujung konflik.
Menurut catatan Walhi Sumsel, masih ada sekitar 57 lokasi  sengketa lahan di wilayah Sumsel yang berpotensi menimbulkan konflik. Ke 57 lokasi itu berada di sembilan kabupaten yakni di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Palembang, Banyuasin, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Muara Enim, OKU Timur, dan Lubuk Linggau.
“Sengketa tanah untuk perkebunan sudah terjadi sejak 1987 seiring masuknya pihak swasta untuk membuka perkebunan dengan mengambil tanah rakyat. Dari tiga tahun terakhir ini saja, kami mencatat ada 57 kasus yang terjadi di Sumsel. Kebanyakan dari pembukaan lahan perkebunan oleh perusahaan swasta," ujar Direktur Walhi Sumsel, Anwar Sadat, Jumat (16/12) lalu.
Walhi mencatat, selama dua tahun terakhir, konflik lahan terus meningkat. Sedikitnya telah ada belasan aksi masyarakat karena konflik lahan sejak Januari 2011. Tahun 2010, jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya, menjadi sekitar 40 konflik, mulai dari unjukrasa hingga perusakan.
Menurut Anwar, konflik terjadi karena saat akan memberikan izin pembukaan lahan ke pihak swasta, pemerintah biasanya hanya melihat sisi formal kepemilikan lahan saja, tidak melihat sisi historis dan sosiologis. Akibatnya rakyat dirugikan karena kehilangan lahan sumber hidup mereka.
Upaya perusahaan
Dari pihak perusahaan perkebunan, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Cara-cara negosiasi dan pemberian sumbangan ditempuh untuk mencari jalan tengah penyelesaian konflik. Termasuk juga membina warga untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Tapi bicara kesejahteraan, rakyat sekitar kadang merasa lebih berhak mendapatkan keuntungan dan akhirnya mengabaikan segala bentuk aturan, menolak melepas lahan tanpa didukung bukti kepemilikan yang jelas dan kuat. Begitupun perusahaan, tak jarang—berbekal izin perluasan lahan yang mereka kantongi, melakukan penggusuran, tanpa mengabaikan kepentingan hidup warga sekitar.
Karena itulah Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Singgih Himawan mengatakan, kepemilikan lahan oleh perusahaan swasta penting untuk ditata ulang untuk meredam konflik.
Menurut Singgih, Salah satu upaya mengurangi potensi konflik adalah dengan menggeser kepemilikan kebun sawit menjadi 60 persen kebun masyarakat dan 40 persen perusahaan. Artinya, pemerintah kabupaten dan kota perlu membatasi pemberian izin pada perusahaan perkebunan dan lebih memprioritaskan masyarakat.
Bagaimanapun, pembukaan perkebunan sawit oleh swasta tak disangkal telah membuka dan menggerakkan ekonomi di berbagai daerah terpencil. Namun, penting pula bagi pemerintah untuk lebih bijaksana dalam memberikan izin pembukaan perkebunan. Jangan sampai kemajuan justru membuat masyarakat kian merasa terpinggirkan di tanah kelahirannya sendiri.

NAMA : RIFAN . EFENDI
NPM : 35110933
KELAS : 2 DB 03

KONFLIK KEWARGANEGARAAN


KONFLIK ACEH, JALAN PANJANG MENUJU PERDAMAIAN
Oleh S. WIRYONO



Pengantar:

        Untuk memperjelas pemahaman kita mengenai konflik di Aceh dan proses dialog untuk mencari penyelesaian damai, Sinar Harapan menurunkan artikel oleh Wiryono Sastrohandoyo, perunding Indonesia dalam masalah Aceh, yang dimuat dalam empat seri tulisan, 7-10 Mei. Dia akan mengulas latar belakang dan konteks proses yang tengah dijalani dan kini terancam gagal, serta rekomendasi pilihan tindakan.

        Waktu itu awal Januari 2002, menjelang akhir bulan puasa Ramadhan, ketika Menlu Hassan Wirajuda menanyakan kesediaan saya untuk menerima posisi sebagai perunding di pihak Pemerintah Indonesia atas masalah Aceh.

        Perundingan-perundingan sebenarnya sudah dilancarkan dua tahun sebelumnya dengan hasil-hasil yang membesarkan hati, tetapi kemudian perundingan ditangguhkan selama sekitar 7 bulan.

        Saya menerima tawaran itu sebagai sebuah kewajiban patriotik, tetapi dengan keraguan dan rasa takut yang besar. Saya benar-benar memulai kewajiban saya sebagai perunding ketika proses yang terhenti itu dimulai kembali di Jenewa, Swiss, 2 Februari 2002.



Latar Belakang

        Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913, dan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Perlawanan itu, pemberontakan, disebut Darul Islam, bertujuan mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia, hal yang juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.

        Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi.

        Pemberontakan separatis di Aceh dewasa ini dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat adalam pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia.

        Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah.

        Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa pengikutnya akhirnya menjadi warganegara Swedia.

        Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar.

        Pada tahun 1992, tampak bahwa Pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala, memicu keberatan publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998.

        Ditekan oleh teriakan publik di seluruh Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM), menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer, melancarkan serangan besar-besaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi.

        Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasufk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan.

        Di Tiro lebih suka sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di provinsi itu.



Sebuah Peluang

        Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut "Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh".

        Tujuannya, memberi kesempatan bagi penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh. Hal ini dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant Center, sebuah LSM internasional. Saling pengertian yang ditandai tangani itu merupakan langkah membangun rasa saling percaya (Confidence Building Measures/CBM) yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk melanjutkan dialog.

        Kendati perkembangan ini disambut baik oleh rakyat Aceh yang tercabik-cabik oleh perang, namun tidak demikian halnya bagi banyak kalangan di Jakarta. Salah satu alasannya, DPR merasa tidak dikonsultasi, sedangkan alasan lainnya bahwa tidak terjadi perdebatan di media massa atau di mana pun tempat para pakar dan kaum akademisi bisa mengutarakan pandangan mereka.

        Perunding dari pihak Indonesia adalah Dr N. Hassan Wirajuda, waktu itu Wakil Tetap RI di PBB di Jenewa, yang kemudian menjadi Menlu RI. Pemerintah RI dengan hati-hati menjelaskan bahwa Dr Wirajuda, ketika mewakili Pemerintah, tidak berunding dalam kapasitasnya sebagai Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa.

        Keterangan ini untuk meredam banyak kritikan bahwa dengan berunding dengan GAM Pemerintah sudah melakukan kesalahan besar dan pihak GAM sudah mengantongi sebuah kemenangan diplomatik, karena kesediaan berunding dengan GAM mengimplikasikan pengakuan, menempatkan GAM, setidaknya secara teoretis, dalam posisi sejajar dengan Pemerintah. Bagi sejumlah anggota parlemen, akademisi dan media massa, pertemuan di Jenewa itu memprensentasikan internasionalisasi masalah Aceh.

        Reaksi negatif ini menjadi lebih mudah dimengerti karena banyak kalangan menilai lepasnya provinsi Timor Timur sebagai konsekuensi dari internasionalisasi masalah Timor Timur.

        Kendati demikian, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terus mengupayakan dialog. Meski dengan begitu banyak kesulitan, sebagian akibat situasi di lapangan, dialog terus melangkah laju sehingga pada Januari 2001 kedua pihak mencapai "Saling Pengertian Sementara" yang berisi banyak ketentuan yang memungkinkan pengaturan mengenai pemeriksaan pelanggaran yang terjadi dan menjalankan upaya-upaya membangun saling kepercayaan.

        Sampai pertengahan 2001, pihak Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata.

        Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang lebih berpandangan nasionalis dibanding Wahid, telah mengambil alih kekuasaan, dan ia menunjuk perunding pihak Indonesia, Dr Hasan Wirajuda sebagai Menlu RI.

        DALAM wilayah Asia Tenggara dan di antara beragam negara yang menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, dan juga pada forum-forum internasional seperti Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi Organisasi Islam (OKI), Uni Eropa (EU) dan lain-lain, terdapat dukungan sangat kuat bagi kedaulatan dan integritas wilayah Republik Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan kasus Aceh dan bahkan dengan masalah Papua.

        Di sisi lain GAM tidak mendapatkan dukungan eksternal atas klaimnya untuk menjadi negara tersendiri, kecuali mungkin dari beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat).

        Memang benar GAM mendapat latihan militer dari Libya tetapi tidak lebih dari itu. Sampai tingkat tertentu, GAM memang mengendalikan suatu kekuatan dan mendapat dukungan tertentu, yang masih sulit untuk diestimasikan, dari rakyat Aceh sendiri.

        Sementara itu, berkembang kekhawatiran yang luas dengan berlanjutnya kekerasan yang menyebabkan begitu seringnya pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan begitu banyak orang Aceh meninggalkan tempat tinggal mereka. Sedangkan semua ini menyebabkan buruknya kehidupan sosial-ekonomi di Aceh.

        Kekhawatiran ini diterjemahkan dalam bentuk tekanan domestik dan internasional atas kedua pihak (RI dan GAM) agar segera menghentikan konflik, menciptakan perdamaian yang tahan lama dan membangun kembali kehidupan sosial-ekonomi di provinsi NAD.

        Sejumlah pengamat telah mengidentifikasi salah satu hambatan paling ekstrem bagi perdamaian di Aceh, dan itu adalah situasi bahwa praktik korupsi sedemikian meluas.

        Pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari praktik ini tidak berniat memecahkan atau menghentikannya. Terdapat laporan bahwa terus terjadi penyelundupan besar-besaran barang-barang mewah di pelabuhan bebas Sabang.

        Pemerasan dan perlindungan bagi pemeras oleh tentara RI maupun oleh gerilyawan GAM sudah menjadi wabah yang meluas dari ujung ke ujung Aceh.

        Senjata dari sumber-sumber luar secara rutin dibawa masuk lewat pantai oleh perahu-perahu penangkap ikan. Ini adalah praktik perdagangan senjata yang membuat GAM dan kelompok-kelompok kriminal lainnya mendapatkan perlengkapan senjata yang baik.

        Pemerintahan RI sampai tingkat tertentu bisa menekan praktik korupsi ini dengan mengekang para pejabat lokal dan otoritas lain di Aceh agar lebih bertanggung jawab. Tetapi pengekangan ini kemungkinan membawa dampak buruk tersendiri.



Situasi 2002

        Pada waktu saya dipercayakan dengan tugas memimpin dialog dari sisi Indonesia, sekitar 10.000 orang sudah tewas di Aceh sebagai akibat dari konflik dan pembunuhan yang rata-rata 5 orang per hari. Kerusakan luar biasa telah menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Aceh anjlok, padahal provinsi ini terhitung kaya dengan sumber-sumber alam.

        Masyarakat Aceh sudah lelah oleh konflik. Dengan keberhasilan - sampai tingkat tertentu - menyelesaikan konflik di Maluku dan Sulawesi Tengah melalui proses perdamaian Malino, Pemerintah RI merasakan adanya momentum untuk juga segera menyelesaikan masalah Aceh. Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, telah mengafirmasi secara terbuka lewat berbagai pernyataan dan dokumen bahwa penyelesaian terbaik ialah melalui dialog dalam kerangka sebuah pendekatan komprehensif, yang juga mencakup penggunaan militer dan pekerjaan polisi. Pada efeknya, hal ini adalah kebijakan dua jalur.

        Tetapi, terlepas dari kebijakan dua jalur itu, terdapat persepsi yang luas dalam Pemerintah, termasuk parlemen, bahwa kekuatan bersenjata Indonesia berada di atas angin di Aceh. Sampai hari ini, banyak dari mereka yang berpersepsi seperti ini merasa bahwa tidak perlu mengadakan perundingan dengan sebuah gerakan separatis yang kalah dan lemah yang tidak mendapat dukungan internasional.

        Bahkan ada juga, tidak sedikit, yang berkeyakinan bahwa hanya ada satu hal yang dilakukan terhadap gerakan separatis ialah menumpasnya, habis perkara. Dalam atmosfer seperti ini, terbukti dialog sulit sekali dilakukan. Meski demikian, saya terus berupaya agar dialog bisa terus digulirkan dengan pihak GAM. Saya menafsirkan mandat yang diberikan kepada saya yaitu melanjutkan proses negosiasi dengan pikiran mengkonsolidasi yang sudah dicapai selama ini dalam bentuk dokumen - kalau mungkin dalam bentuk sebuah "persetujuan sementara" - yang mencakup butir konsensus dan butir pengembangannya lebih lanjut sehingga pertemuan-pertemuan lanjutan antara kedua pihak akan memiliki fondasi bagi tumpuannya. Sebagaimana disepekati sebelumnya, kedua pihak membentuk sebuah Dewan Bersama untuk Dialog Politik dengan lima tokoh internasional terkemuka yang diterima kedua pihak sebagai penasihat.



Panduan Usulan

        Setelah mendapat penjelasan tentang situasi di Aceh dan tentang perkembangan-perkembangan sebelumnya, saya sebagai perunding merancang sebuah "Panduan Usulan" untuk saya gunakan sendiri dalam perundingan-perundingan. Dalam panduan itu diakui keinginan rakyat Aceh untuk memerintah diri mereka sendiri secara damai dalam kebebasan dan demokrasi. Hal ini akan dicapai melalui tiga langkah aksi utama.

        Pertama, konflik akan dihentikan dan perdamaian ditegakkan selama periode transisi, dan otonomi khusus akan diterima sebagai penyelesaian final atas konflik. Kedua, selama periode transisi, sikap permusuhan dihentikan, sedangkan proses penciptaan saling percaya diintensifkan, dan kehidupan sosial-ekonomi di Aceh dinormalkan dengan program bantuan kemanusiaan dan bantuan ekonomi dari Pemerintah Indonesia dan komunitas internasional. Dan ketiga, dialog yang mencakup semua unsur masyarakat Aceh, termasuk GAM, akan menjadi forum konsultatif bagi pencapaian penyelesaian damai yang ternegosiasikan atas masalah Aceh. Penyelesaian ini didasarkan atas Undang-Undang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebuah Undang-Undang yang disetujui di masa Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi status otonomi khusus bagi propinsi Aceh. Setelah selesainya dialog semua unsur Aceh tersebut, maka diadakan persiapan penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh untuk memungkinkan para pengikut GAM berpartisipasi dalam pemilihan nasional Indonesia 2004.

        Dalam pertemuan Februari 2002, sebagai perunding saya menjelaskan kepada Henri Dunant Centre dan semua penasihat tentang gagasan yang menjadi isi Panduan Usulan yang saya gariskan. Secara umum mereka menanggapinya secara positif, khususnya karena menurut Panduan Usulan itu dimungkinkan dialog terus berjalan tanpa secara eksplisit membahas isu sensitif tentang tuntutan GAM untuk kemerdekaan Aceh. Satu-satunya sumber kesulitan ialah inti posisi Pemerintah dan itu adalah (keharusan) penerimaan oleh GAM atas tawaran otonomi dari Pemerintah yang dinyatakan dalam Undang-Undang NAD. Penerimaan otonomi tersebut oleh GAM mengimplikasikan ditinggalkannya tuntutan kemerdekaan Aceh.

        Kedua pihak berunding secara intensif dalam pertemuan Februari itu tetapi pada akhirnya, pihak GAM tidak bersedia menandatangani sebuah pernyataan bersama yang sedianya menjadi hasil pertemuan tersebut. Waktu itu GAM beralasan membutuhkan waktu lebih banyak untuk mempertimbangkan tawaran otonomi tersebut. Dan karena rancangan pernyataan bersama itu tidak bisa dikeluarkan bersama oleh kedua pihak, disepakati bahwa fasilitator, Henri Dunant Centre, akan mengeluarkannya atas namanya sendiri.

        Naskah rancangan pernyataan bersama itu secara jelas menyatakan bahwa kedua pihak sepakat menggunakan Undang-Undang NAD sebagai titik awal diskusi-diskusi, dan " selama periode penciptaan saling percaya di mana kedua pihak menghentikan permusuhan dan kemudian bergerak maju menuju pemilihan yang demokratis di Aceh dalam tahun 2004." Oleh karena itu dokumen ini menjadi semacam "peta jalan" untuk proses perdamaian ke depan, menetapkan penghentikan permusuhan, dialog semua unsur masyarakat Aceh dan pemilihan.

        PERTEMUAN lanjutan antara GAM dan wakil Pemerintah awal Mei 2002 membuahkan formalisasi dokumen Februari yang dikeluarkan Henri Dunant Centre. Pada tanggal 10 Mei 2002, kedua pihak menandatangani sebuah Pernyataan Bersama dengan isi yang secara esensial sama dengan dokumen Februari tersebut.

        Kesulitan timbul ketika kedua pihak mengintrepretasikan secara berbeda isi dokumen yang sama. Pemerintah berpikir bahwa dokumen itu sudah mengamankan komitmen GAM menerima Undang-Undang NAD sebagai sebuah langkah awal. Sedangkan GAM tampak mengerti isi dokumen itu hanya sebagai bahan pertama untuk dibahas bersama.

        Jurubicara utama GAM, Sofyan Ibrahim Tiba, setibanya kembali di Aceh, membantah dengan keras bahwa GAM sudah menerima Undang-Undang NAD. Perbedaan tafsir ini kemudian diperburuk oleh unsur-unsur bersenjata yang mengklaim sebagai kekuatan GAM yang mulai menyerang fasilitas-fasilitas pemerintah, khususnya tiang-tiang listrik dan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, termasuk perempuan dan anak-anak.

        TNI bereaksi dengan mengerahkan lebih banyak serdadu ke Aceh dan mengintensifkan operasi penumpasan kerusuhan. Kejadian ini mengikuti pola bahwa setiap kali kedua pihak mencapai suatu persetujuan, unsur-unsur di lapangan pasti mengeluarkan pernyataan-pernyataan bantahan atau penolakan lalu melancarkan aksi kekerasan, hal yang setiap kali merusak proses dialog.

        Jadi, pertemuan ketiga, yang semestinya dilaksanakan Juni 2002, batal digelar karena situasi buruk di lapangan. Kemudian, 19 Agustus 2002, Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru tentang Aceh: GAM diberi kesempatan sampai akhir bulan puasa Ramadhan, berakhir 7 Desember 2002, untuk menerima tawaran otonomi khusus sebagai prasyarat bagi dialog lebih lanjut, atau harus menghadapi kekuatan militer Indonesia.

        Pada kenyataannya, proses dialog kini terhenti, tanpa jaminan apa pun bahwa GAM akan kembali ke meja perundingan. Sementara itu kekerasan kian meningkat dan terus menelan semakin banyak korban jiwa. Upaya pembunuhan juga terjadi belum lama ini atas diri Gubernur Aceh.

        Tidak lama sebelum berakhirnya bulan Agustus 2002, Pemerintah memperlunak sikap dengan pengumuman dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. "Kami mengharapkan babak perundingan baru dengan GAM dalam bulan September, mungkin bukan perundingan formal, tetapi kami akan terus meretas jalan bagi penyelesaian secara damai," demikian pengumuman tersebut.



Basis Dialog

        Di awal September, Pemerintah mengajukan sebuah rancangan persetujuan untuk menghentikan sikap permusuhan kepada Henri Dunant Centre (HDC) dan kelompok penasihat. Kedua pihak ini membuat perbaikan atas rancangan tersebut. Ini berarti keduanya menerima rancangan itu sehingga bisa dijadikan sebagai basis bagi dialog lebih lanjut antara Pemerintah dan GAM.

        Dan memang demikianlah yang terjadi: rancangan yang sudah diperbaiki dan dikonsolidasikan HDC itu dirundingkan dengan wakil GAM dan dalam serangkaian pertemuan tidak langsung kedua pihak (Pemerintah dan GAM) difasilitasi oleh diplomasi bolak-balik HDC di Singapura, Paris, Jenewa dan Stockholm.

        Proses ini makan waktu beberapa pekan. Pada 19 November 2002, HDC mengumumkan bahwa kedua pihak telah memberi komitmen untuk menyepapati sebuah persetujuan. Meski beberapa isu masih harus diselesaikan, persetujuan penghentian permusuhan direncanakan untuk disepakati 9 Desember 2002.

        Secara esensial, rancangan persetujuan itu menuntut pembentukan sebuah Komite Keamanan Bersama oleh Pemerintah Indonesia, GAM dan HDC yang terdiri dari 150 anggota. Komite ini bertugas memantau pelaksanaan penghentian permusuhan, menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran dan untuk mengambil langkah-langkah, termasuk sanksi-sanksi guna memulihkan ketenangan.

        Undang-Undang Otonomi Khusus NAD akan menjadi titik awal bagi dialog semua unsur masyarakat Aceh menuju pemilihan umum 2004. Masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk rincian mengenai waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang mesti dilakukan oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata dari politik.

        Selagi HDC merasa yakin bahwa penandatanganan persetujuan tersebut akan terlaksana sesuai jadwal, sebenarnya ada banyak kejutan yang mesti diselesaikan hingga saat-saat terakhir.

        Syukurlah bahwa komunitas internasional merasa berkepentingan dalam proses ini dan menunjukkan dukungannya yaitu menyelenggarakan konferensi negara-negara donor di Tokyo, 3 Desember 2002, 6 hari menjelang penandatanganan perjanjian tersebut. Konferensi yang dipandu bersama oleh Jepang, AS dan badan-badan pendanaan internasional itu bertujuan menghimpun dana bagi pembangunan kembali Aceh setelah kedua pihak menandatnagani Persetujuan Penghentian Permusuhan itu.

        Negara-negara lain yang ambil bagian dalam konferensi itu adalah Australia, Kanada, Swedia, Denmark, Prancis, Jerman, Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga hadir wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP) dan HDC. GAM diundang ke konferensi itu tetapi tidak menghadirkan wakilnya.



Kegelisahan Kawasan

        Penyelenggaraan konferensi itu adalah manifestasi keprihatinan masyarakat internasional atas kenyataan ketidakstabilan terus-menerus di Indonesia, yang sebagiannya disebabkan oleh perkara Aceh.

        Kalau perkara Aceh dan juga perkara Papua, Maluku dan di beberapa propinsi lain semuanya bisa diselesaikan dalam beberapa bulan ke depan, hal ini merupakan pemulihan keadaan bagi negara-negara tetangga Indonesia yang gelisah akan dampak dari konflik internal di Indonesia bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Bagi Indonesia sendiri, penyelesaian masalah-masalah internal ini, sampai tingkat tertentu, akan memulihkan posisinya dalam komunitas internasional dan di antara investor domestik dan asing.

        Disepakati dalam konferensi Tokyo tentang Perdamaian dan Rekonstruksi di Aceh bahwa begitu persetujuan ditandatangani, sebuah misi multi-agen akan dikirim ke Aceh untuk menghitung kebutuhan bagi perbaikan sosial-ekonomi di porpinsi itu. Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang berpartisipasi kemudian akan mengumpulkan dana yang dibutuhkan bagi bantuan kemanusiaan, untuk mendukung pembubaran pasukan, mendorong investasi jangka pendek yang berdaya guna bagi masyarakat, perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan pembangunan infrastruktur.

        Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (CGI) akan mengkoordinasikan bantuan tersebut, sedangkan komunitas-komunitas lokal dan masyarakat sipil akan dilibatkan untuk menjamin bahwa dana-dana tersebut memang sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan sesegera mungkin secara bertanggungjawab dan transparan. Konsepnya ialah, menjamin bahwa rakyat benar-benar bisa segera merasakan buah dari perdamaian dan dengan demikian proses perdamaian itu sendiri diperkuat.

        Persetujuan Penghentian Permusuhan ditandatangani di Jenewa 9 Desember 2002. Tetapi pada Januari 2003 sudah mulai kelihatan bahwa jalan menuju perdamaian benar-benar penuh tantangan, terutama dalam dua bulan pertama. Banyak hal tergantung pada ketrampilan dan kebijaksanaan Komite Keamanan Bersama (JSC) di bawah kendali Mayjen Thanungsak Tuvinan dari Thailand dan wakilnya Brigjen Nogomora Lomodag dari Pilipina.

        Tidak lama setelah penandatanganan persetujuan itu, 30 Desember 2002, sudah terjadi 50 insiden pertempuran antara kekuatan GAM dan pasukan keamanan Indonesia. Sejak Persetujuan Penghentian Permusuhan ditegakkan, korban tewas yang jatuh memang berkurang secara berarti, tetapi belakangan ini meningkat lagi.

        Juga telah timbul soal akibat penolakan GAM belum lama ini atas kehadiran pengamat dari Pilipina dalam ISC. GAM menilai wakil Filipina itu tidak bisa berdiri netral karena pemerintah Pilipina terlibat dalam pertempuran dengan gerakan Moro yang hendak memisahkan diri, dan juga karena Indonesia pernah menjadi penengah bagi perjanjian damai antara pemerintah Pilipina dan kelompok separatis lain di negeri itu tahun 1996. Soal ini kemudian diselesaikan dengan kesepakatan bahwa wakil Pilipina yang sudah ada dalam ISC dipertahankan sedangkan tambahannya digantikan oleh pengamat dari Thailand. (Sinar Harapan)

        DAMPAK umum dari penandatanganan perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) di Jenewa 9 Desember 2002 ialah kegembiraan besar rakyat Aceh - dan ini terutama karena perjanjian itu sudah dianggap sebagai sebuah perjanjian perdamaian.

        Rakyat Aceh merasa bahwa perdamaian sudah di tangan mereka dan mereka tak hendak melepaskannya lagi. Tetapi faktanya ialah, senjata terus saja menyalak. Dengan kerinduan yang begitu besar akan perdamaian setelah sekian lama dilelahkan konflik, maka kegagalan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan pukulan sangat berat bagi rakyat Aceh.

        Di Jakarta, COHA yang disambut secara berhati-hati dan tanpa banyak kritik itu dipertegas oleh komitmen Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri yang didemonstrasikan dengan segera mengunjungi Aceh menyusul penandatanganan di Jenewa itu. Unit-unit GAM kembali ke barak-barak mereka, sementara sebuah tim multi-agen dari PBB mengunjungi Aceh untuk mengkalkulasi kebutuhan pembangunan kembali Aceh. Di Jakarta, Pemerintah menggalang tim bantuan kemanusiaan bagi rakyat Aceh dan juga memprioritaskan bantuan bagi warga pengungsi Aceh.

        Dalam waktu sebulan JSC yang memantau pelaksaan COHA tersebut mulai masuk Aceh. Insiden dengan korban tewas turun secara dramatis, dan perkembangan positif ini semestinya menjadi momentum perdamaian, tetapi nyatanya tidak demikian. Permusuhan jalan terus, sampai pada titik yang sedemikian sulit sehingga sangat sulit dibayangkan bahwa kesepakatan itu masih bisa dilaksanakan.

        Saling tuding antara TNI dan GAM - mengenai pelanggaran persetujuan - pun terjadi. Ini ditambah dengan menyebarnya laporan bahwa anggota JSC diintimidasi warga sipil setempat, hal yang dibantah pihak militer. Dengan alasan keamanan, anggota JSC pun mundur dari Aceh, ini sejalan dengan keluhan Pemerintah bahwa JSC tidak efektif karena pernyataan-pernyataan serba negatif dari oknum-uknum GAM tentang JSC. Ketimbang memenuhi isi COHA - dihentikannya permusuhan - GAM justru menggalang demonstrasi pro-kemerdekaan dan mengacau-balaukan informasi guna menciptakan persepsi umum bahwa hasil akhir pelaksanaan pertujuan Jenewa adalah kemerdekaan Aceh.

        Bersama semua itu GAM merekrut tenaga-tenaga baru untuk perjuangannya dan mengangkat perwira-perwira baru, sekaligus melakukan perluasan struktur politiknya dari kampung ke kampung.
Pemerintahan bawah tanah yang dikembangkan GAM ini disertai praktik pemungutan pajak yang disebut "Pajak Nanggroe". Ini tentu saja sebuah penyimpangan dan tindak kejahatan.

        Dengan ulah GAM ini jadwal kerja JSC sama sekali terganggu hal yang juga berdampak pada citra buruk Henri Dunant Centre (HDC) yang bertugas sebagai pengawas penyerahan senjata (peletakan senjata) GAM.



HDC Gagal

        Pemerintah kemudian mengajukan protes keras kepada HDC, menuding GAM telah melanggar kewajiban-kewajibannya dalam COHA. Atas dasar ini Pemerintah menuntut segera diadakan sidang Dewan Bersama (Joint Council) yang terdiri dari Pemerintah, GAM dan HDC.

        Dewan Bersama ini diciptakan COHA sendiri dengan tugas menyelesaikan perselihan akibat pelaksanaan COHA yang tidak bisa diselesaikan JSC. Tuntutan diadakannya pertemuan Dewan Bersama itu diajukan kepada HDC awal April 2003 dan Pemerintah menyebutnya sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan COHA.

        Tidak lama sesudah itu Presiden Megawati mengirim utusan khusus kepada PM Swdia untuk menyampaikan secara resmi kepada Pemerintah Swedia bahwa sejumlah warganegara Swedia - Hasan Di Tiro dan beberapa letnan terkemuka pendukungnya - terlibat dalam aksi pemberontakan dan aksi kejahatan lainnya yang menyebabkan banyaknya jatuh korban di Indonesia.
Pemerintah Swedia menjawab dengan minta bukti-bukti konkret untuk itu, hal yang tampaknya sedang dipersiapkan Pemerintah RI.

        Dalam suratnya untuk Pemerintah RI, GAM menolak menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah pun mulai menyiapkan operasi militer di Aceh karena proses menuju perdamaian tampaknya sudah menjadi berantakan.

        Pertengahan April, GAM berubah pikiran, dengan memberitahu Pemerintah RI, melalui HDC, bahwa mereka bersedia menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah menyambut baik hal ini, namun GAM masih harus memberi persetujuan tentang tempat dan tanggal pertemuan tersebut. Pemerintah memilih Tokyo, GAM memilih Jenewa sebagai tempat pertemuan.

        Dengan enggan Pemerintah menyetujui tempat Jenewa dan menetapkan pertemuan pada tanggal 25 April. GAM setuju tetapi tidak lama kemudian berubah pikiran lagi, terutama menyangkut tanggal pertemuan.

        Pemerintah menawarkan kompromi bahwa pertemuan pembukaan 25 April dan pertemuan sesungguhnya tanggal 26 dan 27. Tetapi tanpa alasan yang jelas HDC tidak bisa meyakinkan GAM untuk menerima kompromi dari Pemerintah RI.

        GAM hanya mau bertemu tanggal 27 April, hari Minggu, tetapi seluruh soal tidak bisa hanya diselesaikan dalam satu hari pertemuan. HDC tidak bisa membawa GAM ke meja pertemuan sehingga Dewan Bersama gagal terlaksana.



Selalu Berkhianat

        Pemerintah sudah mengambil semua langkah yang fleksibel bersamaan dengan kesabaran yang kian mendekati batas. Di pihak lain GAM sama sekali tidak menunjukkan fleksibiltasnya dengan alasan yang tidak jelas, dan juga tampak mempermainkan itikad baik Pemerintah.

        Maka pertanyaan besar sekarang ialah: Apakah berikutnya? Jawabannya boleh jadi bisa ditarik dari kelakuan GAM di masa lalu. Sejak perundingan dimulai awal Januari 2000, kelakuan khas GAM adalah berkhianat! GAM menerima suatu pengaturan, seperti jeda kemanusiaan, tapi menggunakannya hanya untuk tujuan konsolidasi kekuatan, hanya untuk membuka kembali pertempuran ketika pihaknya yakin memiliki kekuatan politik dan senjata yang memadai. Di sini lain Pemerintah selalu mencoba konsisten dengan pernyataan 19 Agustus bahwa akan berpegang teguh pada strategi menggunakan semua jalan damai sebelum memutuskan sebuah "tindakan yang tepat" yang oleh sebagian besar orang ditafsirkan sebagai operasi militer.

        Pernyataan bersama 10 Mei dan COHA 9 Desember memang bukanlah dokumen yang sempurna tetapi memadai sebagai peta jalan yang jelas dengan penerimaan Undang-Undang NAD sebagai titik tolak, disusul dengan penghentian permusuhan, dialog segenap unsur masyarakat Aceh dan akhirnya pemilihan umum 2004.

        Ketika format yang akurat dan jadwal dialog semua unsur Aceh itu belum diputuskan, pemilihan yang disebutkan dalam COHA adalah pemilihan umum Indonesia 2004. Hal ini sama sekali tidak bisa ditafsirkan sebagai berkaitan dengan referendum dan kemerdekaan.

        Faktanya ialah, komitmen fundamental Pemerintah dan GAM telah dinyatakan dalam bagian pembukaan COHA, di mana dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan GAM mempunyai sasaran obyektif yang sama memenuhi aspirasi rakyat Aceh untuk hidup dengan aman secara bermartabat, damai, sejahtera dan adil.

        Tetapi yang terjadi, GAM tidak berupaya mencari jalan menuju perdamaian, melainkan menjadikan perdamaian sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Padahal satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan bersama ialah dengan mematuhi naskah dan semangat COHA dan mempertahankan fokus pada tujuan bersama.

        Dengan menjalankan seluruh kesabaran dan flesibilitas di hadapan GAM yang "bertingkah", Pemerintah yakin bahwa telah mempertahankan sebuah pilihan moral yang tinggi. Kalau sekarang Pemerintah harus memformulasikan kembali kebijakan atas Aceh, hendaknya tetap dengan moral yang tinggi itu dan dengan itu Pemerintah bisa memilih salah satu dari dua pilihan: menjalankan operasi militer, atau mencoba lagi jalan damai.

        Memulai kembali proses perdamaian, untuk sebagian orang, secara politis, tampak tidak lagi menjadi pilihan yang menarik. Sedangkan di sisi lain, pandangan bahwa perdamaian harus diupayakan dengan segala cara sudah dinyatakan oleh banyak politisi terkemuka, oleh para ulama dan orang-orang Aceh pada umumnya. Dalam COHA ditetapkan batas waktu 5 bulan bagi GAM merampungkan proses melepaskan senjata. Secara teoretis ini baru akan berakhir 9 Juli mendatang, sehingga sesudah tanggal itu akan menjadi sah bagi Pemerintah bila hendak melancarkan operasi militer di Aceh. Hal inilah yang kini sedang terus dibicarakan.



Perang Kemanusiaan

        Ketika operasi militer akhirnya diputuskan, operasi itu mesti dipersiapkan secara berhati-hati, sehingga yang terjadi di lapangan nanti bukanlah perang dalam pengertian tradisional melainkan perang kemanusiaan yang didasarkan pada pengakuan bahwa situasi politik yang sedemikian rumit di Aceh tidak bisa semata-mata diselesaikan secara militer.

        Lebih dari itu, ada risiko bahwa aksi militer bisa menjadi bumerang bagi RI kalau korban sipil menjadi berlebihan. Karenanya operasi militer harus dirancang tidak saja untuk memenangkan pertempuran dan kontak senjata, tetapi terutama memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh. Tuntutan dewasa ini ialah, walapun operasi militer itu sah adanya, operasi itu sendiri harus sedemikian rupa sehingga menghindari "kerusakan besar-besaran". Apabila korban sipil berjatuhan, rasa dendam baru timbul pada sebagian rakyat Aceh, dan ini hanya akan mempersulit pencapaian tujuan dari apa yang disebut sebagai "perang kemanusiaan" itu.

        Sesungguhnya, masyarakat Aceh sudah seharusnya mendukung operasi militer itu, setidaknya sampai tingkat tertentu, dan oleh karena itu operasi tersebut harus dijalankan dengan cara yang tidak merugikan kepentingan dan hidup mereka. Dengan kata lain, aspek kemanusiaan dari operasi militer harus menjadi pertimbangan utama. Ini berarti bahwa operasi militer tidak berjalan sendirian, melainkan diintegrasikan dengan upaya-upaya lain yang dijalankan serempak di bidang sosial, ekonomi, politik dan lain-lain.

        Di atas semuanya itu, operasi militer tersebut haruslah sesingkat mungkin. Seperti kata filosof militer Cina, Sun Tzu: "Belum ada contoh dari bangsa manapun yang memetik keuntungan dari perang yang panjang". Kasus Aceh bisa menjadi kekecualian bagi kata-kata Sun Tzu itu, bila nanti harus terjadi perang 26 tahun lagi, sebagaimana telah terjadi sebelumnya, di Aceh. (Sinar Harapan)

NAMA : RIFAN . EFENDI
NPM : 35110933
KELAS : 2 DB 03