KONFLIK
ACEH, JALAN PANJANG MENUJU PERDAMAIAN
Oleh
S. WIRYONO
Pengantar:
Untuk memperjelas pemahaman kita
mengenai konflik di Aceh dan proses dialog untuk mencari penyelesaian damai,
Sinar Harapan menurunkan artikel oleh Wiryono Sastrohandoyo, perunding
Indonesia dalam masalah Aceh, yang dimuat dalam empat seri tulisan, 7-10 Mei.
Dia akan mengulas latar belakang dan konteks proses yang tengah dijalani dan
kini terancam gagal, serta rekomendasi pilihan tindakan.
Waktu itu awal Januari 2002, menjelang
akhir bulan puasa Ramadhan, ketika Menlu Hassan Wirajuda menanyakan kesediaan
saya untuk menerima posisi sebagai perunding di pihak Pemerintah Indonesia atas
masalah Aceh.
Perundingan-perundingan sebenarnya
sudah dilancarkan dua tahun sebelumnya dengan hasil-hasil yang membesarkan
hati, tetapi kemudian perundingan ditangguhkan selama sekitar 7 bulan.
Saya menerima tawaran itu sebagai
sebuah kewajiban patriotik, tetapi dengan keraguan dan rasa takut yang besar.
Saya benar-benar memulai kewajiban saya sebagai perunding ketika proses yang
terhenti itu dimulai kembali di Jenewa, Swiss, 2 Februari 2002.
Latar
Belakang
Aceh memiliki sejarah militansi
memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda
dari 1873 sampai 1913, dan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik
Indonesia di tahun 1953. Perlawanan itu, pemberontakan, disebut Darul Islam,
bertujuan mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia, hal
yang juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan
Sulawesi Selatan.
Pemberontakan ini berakhir 1962,
ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status
sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat
dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak
terpenuhi.
Pemberontakan separatis di Aceh dewasa
ini dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan
kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat adalam
pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang
diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri
dari Republik Indonesia.
Tidak lama setelah deklarasi
kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan
pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh
pemerintah.
Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah
dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa
pengikutnya akhirnya menjadi warganegara Swedia.
Dalam sebagian besar dekade 1980-an,
GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap
militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari
400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989,
GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia,
menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai
sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak
penumpasan berskala besar.
Pada tahun 1992, tampak bahwa
Pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang
ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala, memicu keberatan
publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh
menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari
kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998.
Ditekan oleh teriakan publik di seluruh
Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab
Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998
dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM),
menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian,
perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer,
melancarkan serangan besar-besaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi.
Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah
ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari
kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasufk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan
utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah
kemerdekaan.
Di Tiro lebih suka sebuah monarki
dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki
sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan
Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang
beroperasi di provinsi itu.
Sebuah
Peluang
Selama pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang
bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran
dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan
Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka
menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut "Saling Pengertian
bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh".
Tujuannya, memberi kesempatan bagi
penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh. Hal ini
dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant
Center, sebuah LSM internasional. Saling pengertian yang ditandai tangani itu
merupakan langkah membangun rasa saling percaya (Confidence Building
Measures/CBM) yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk
melanjutkan dialog.
Kendati perkembangan ini disambut baik
oleh rakyat Aceh yang tercabik-cabik oleh perang, namun tidak demikian halnya
bagi banyak kalangan di Jakarta. Salah satu alasannya, DPR merasa tidak
dikonsultasi, sedangkan alasan lainnya bahwa tidak terjadi perdebatan di media
massa atau di mana pun tempat para pakar dan kaum akademisi bisa mengutarakan
pandangan mereka.
Perunding dari pihak Indonesia adalah
Dr N. Hassan Wirajuda, waktu itu Wakil Tetap RI di PBB di Jenewa, yang kemudian
menjadi Menlu RI. Pemerintah RI dengan hati-hati menjelaskan bahwa Dr Wirajuda,
ketika mewakili Pemerintah, tidak berunding dalam kapasitasnya sebagai Wakil
Tetap RI untuk PBB di Jenewa.
Keterangan ini untuk meredam banyak
kritikan bahwa dengan berunding dengan GAM Pemerintah sudah melakukan kesalahan
besar dan pihak GAM sudah mengantongi sebuah kemenangan diplomatik, karena
kesediaan berunding dengan GAM mengimplikasikan pengakuan, menempatkan GAM,
setidaknya secara teoretis, dalam posisi sejajar dengan Pemerintah. Bagi
sejumlah anggota parlemen, akademisi dan media massa, pertemuan di Jenewa itu
memprensentasikan internasionalisasi masalah Aceh.
Reaksi negatif ini menjadi lebih mudah
dimengerti karena banyak kalangan menilai lepasnya provinsi Timor Timur sebagai
konsekuensi dari internasionalisasi masalah Timor Timur.
Kendati demikian, pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid terus mengupayakan dialog. Meski dengan begitu banyak
kesulitan, sebagian akibat situasi di lapangan, dialog terus melangkah laju
sehingga pada Januari 2001 kedua pihak mencapai "Saling Pengertian Sementara"
yang berisi banyak ketentuan yang memungkinkan pengaturan mengenai pemeriksaan
pelanggaran yang terjadi dan menjalankan upaya-upaya membangun saling
kepercayaan.
Sampai pertengahan 2001, pihak
Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan
dialog informal yang melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat
Aceh, termasuk GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001
sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di
lapangan akibat meningkatnya kontak senjata.
Sementara itu, Megawati Soekarnoputri
yang lebih berpandangan nasionalis dibanding Wahid, telah mengambil alih
kekuasaan, dan ia menunjuk perunding pihak Indonesia, Dr Hasan Wirajuda sebagai
Menlu RI.
DALAM wilayah Asia Tenggara dan di
antara beragam negara yang menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, dan
juga pada forum-forum internasional seperti Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi
Organisasi Islam (OKI), Uni Eropa (EU) dan lain-lain, terdapat dukungan sangat
kuat bagi kedaulatan dan integritas wilayah Republik Indonesia, khususnya dalam
hubungan dengan kasus Aceh dan bahkan dengan masalah Papua.
Di sisi lain GAM tidak mendapatkan
dukungan eksternal atas klaimnya untuk menjadi negara tersendiri, kecuali
mungkin dari beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat).
Memang benar GAM mendapat latihan
militer dari Libya tetapi tidak lebih dari itu. Sampai tingkat tertentu, GAM
memang mengendalikan suatu kekuatan dan mendapat dukungan tertentu, yang masih
sulit untuk diestimasikan, dari rakyat Aceh sendiri.
Sementara itu, berkembang kekhawatiran
yang luas dengan berlanjutnya kekerasan yang menyebabkan begitu seringnya
pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan begitu banyak orang Aceh
meninggalkan tempat tinggal mereka. Sedangkan semua ini menyebabkan buruknya
kehidupan sosial-ekonomi di Aceh.
Kekhawatiran ini diterjemahkan dalam
bentuk tekanan domestik dan internasional atas kedua pihak (RI dan GAM) agar
segera menghentikan konflik, menciptakan perdamaian yang tahan lama dan
membangun kembali kehidupan sosial-ekonomi di provinsi NAD.
Sejumlah pengamat telah
mengidentifikasi salah satu hambatan paling ekstrem bagi perdamaian di Aceh,
dan itu adalah situasi bahwa praktik korupsi sedemikian meluas.
Pihak-pihak yang menikmati keuntungan
dari praktik ini tidak berniat memecahkan atau menghentikannya. Terdapat
laporan bahwa terus terjadi penyelundupan besar-besaran barang-barang mewah di
pelabuhan bebas Sabang.
Pemerasan dan perlindungan bagi pemeras
oleh tentara RI maupun oleh gerilyawan GAM sudah menjadi wabah yang meluas dari
ujung ke ujung Aceh.
Senjata dari sumber-sumber luar secara
rutin dibawa masuk lewat pantai oleh perahu-perahu penangkap ikan. Ini adalah
praktik perdagangan senjata yang membuat GAM dan kelompok-kelompok kriminal
lainnya mendapatkan perlengkapan senjata yang baik.
Pemerintahan RI sampai tingkat tertentu
bisa menekan praktik korupsi ini dengan mengekang para pejabat lokal dan
otoritas lain di Aceh agar lebih bertanggung jawab. Tetapi pengekangan ini
kemungkinan membawa dampak buruk tersendiri.
Situasi
2002
Pada waktu saya dipercayakan dengan
tugas memimpin dialog dari sisi Indonesia, sekitar 10.000 orang sudah tewas di
Aceh sebagai akibat dari konflik dan pembunuhan yang rata-rata 5 orang per
hari. Kerusakan luar biasa telah menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Aceh
anjlok, padahal provinsi ini terhitung kaya dengan sumber-sumber alam.
Masyarakat Aceh sudah lelah oleh
konflik. Dengan keberhasilan - sampai tingkat tertentu - menyelesaikan konflik
di Maluku dan Sulawesi Tengah melalui proses perdamaian Malino, Pemerintah RI
merasakan adanya momentum untuk juga segera menyelesaikan masalah Aceh.
Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, telah mengafirmasi secara terbuka
lewat berbagai pernyataan dan dokumen bahwa penyelesaian terbaik ialah melalui
dialog dalam kerangka sebuah pendekatan komprehensif, yang juga mencakup
penggunaan militer dan pekerjaan polisi. Pada efeknya, hal ini adalah kebijakan
dua jalur.
Tetapi, terlepas dari kebijakan dua
jalur itu, terdapat persepsi yang luas dalam Pemerintah, termasuk parlemen,
bahwa kekuatan bersenjata Indonesia berada di atas angin di Aceh. Sampai hari
ini, banyak dari mereka yang berpersepsi seperti ini merasa bahwa tidak perlu
mengadakan perundingan dengan sebuah gerakan separatis yang kalah dan lemah
yang tidak mendapat dukungan internasional.
Bahkan ada juga, tidak sedikit, yang
berkeyakinan bahwa hanya ada satu hal yang dilakukan terhadap gerakan separatis
ialah menumpasnya, habis perkara. Dalam atmosfer seperti ini, terbukti dialog
sulit sekali dilakukan. Meski demikian, saya terus berupaya agar dialog bisa
terus digulirkan dengan pihak GAM. Saya menafsirkan mandat yang diberikan
kepada saya yaitu melanjutkan proses negosiasi dengan pikiran mengkonsolidasi
yang sudah dicapai selama ini dalam bentuk dokumen - kalau mungkin dalam bentuk
sebuah "persetujuan sementara" - yang mencakup butir konsensus dan
butir pengembangannya lebih lanjut sehingga pertemuan-pertemuan lanjutan antara
kedua pihak akan memiliki fondasi bagi tumpuannya. Sebagaimana disepekati
sebelumnya, kedua pihak membentuk sebuah Dewan Bersama untuk Dialog Politik
dengan lima tokoh internasional terkemuka yang diterima kedua pihak sebagai
penasihat.
Panduan
Usulan
Setelah mendapat penjelasan tentang
situasi di Aceh dan tentang perkembangan-perkembangan sebelumnya, saya sebagai
perunding merancang sebuah "Panduan Usulan" untuk saya gunakan sendiri
dalam perundingan-perundingan. Dalam panduan itu diakui keinginan rakyat Aceh
untuk memerintah diri mereka sendiri secara damai dalam kebebasan dan
demokrasi. Hal ini akan dicapai melalui tiga langkah aksi utama.
Pertama, konflik akan dihentikan dan
perdamaian ditegakkan selama periode transisi, dan otonomi khusus akan diterima
sebagai penyelesaian final atas konflik. Kedua, selama periode transisi, sikap
permusuhan dihentikan, sedangkan proses penciptaan saling percaya
diintensifkan, dan kehidupan sosial-ekonomi di Aceh dinormalkan dengan program
bantuan kemanusiaan dan bantuan ekonomi dari Pemerintah Indonesia dan komunitas
internasional. Dan ketiga, dialog yang mencakup semua unsur masyarakat Aceh,
termasuk GAM, akan menjadi forum konsultatif bagi pencapaian penyelesaian damai
yang ternegosiasikan atas masalah Aceh. Penyelesaian ini didasarkan atas
Undang-Undang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebuah
Undang-Undang yang disetujui di masa Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi status
otonomi khusus bagi propinsi Aceh. Setelah selesainya dialog semua unsur Aceh
tersebut, maka diadakan persiapan penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh untuk
memungkinkan para pengikut GAM berpartisipasi dalam pemilihan nasional
Indonesia 2004.
Dalam pertemuan Februari 2002, sebagai
perunding saya menjelaskan kepada Henri Dunant Centre dan semua penasihat
tentang gagasan yang menjadi isi Panduan Usulan yang saya gariskan. Secara umum
mereka menanggapinya secara positif, khususnya karena menurut Panduan Usulan
itu dimungkinkan dialog terus berjalan tanpa secara eksplisit membahas isu
sensitif tentang tuntutan GAM untuk kemerdekaan Aceh. Satu-satunya sumber
kesulitan ialah inti posisi Pemerintah dan itu adalah (keharusan) penerimaan
oleh GAM atas tawaran otonomi dari Pemerintah yang dinyatakan dalam
Undang-Undang NAD. Penerimaan otonomi tersebut oleh GAM mengimplikasikan
ditinggalkannya tuntutan kemerdekaan Aceh.
Kedua pihak berunding secara intensif
dalam pertemuan Februari itu tetapi pada akhirnya, pihak GAM tidak bersedia
menandatangani sebuah pernyataan bersama yang sedianya menjadi hasil pertemuan
tersebut. Waktu itu GAM beralasan membutuhkan waktu lebih banyak untuk
mempertimbangkan tawaran otonomi tersebut. Dan karena rancangan pernyataan
bersama itu tidak bisa dikeluarkan bersama oleh kedua pihak, disepakati bahwa
fasilitator, Henri Dunant Centre, akan mengeluarkannya atas namanya sendiri.
Naskah rancangan pernyataan bersama itu
secara jelas menyatakan bahwa kedua pihak sepakat menggunakan Undang-Undang NAD
sebagai titik awal diskusi-diskusi, dan " selama periode penciptaan saling
percaya di mana kedua pihak menghentikan permusuhan dan kemudian bergerak maju
menuju pemilihan yang demokratis di Aceh dalam tahun 2004." Oleh karena
itu dokumen ini menjadi semacam "peta jalan" untuk proses perdamaian
ke depan, menetapkan penghentikan permusuhan, dialog semua unsur masyarakat
Aceh dan pemilihan.
PERTEMUAN lanjutan antara GAM dan wakil Pemerintah awal Mei 2002
membuahkan formalisasi dokumen Februari yang dikeluarkan Henri Dunant Centre.
Pada tanggal 10 Mei 2002, kedua pihak menandatangani sebuah Pernyataan Bersama
dengan isi yang secara esensial sama dengan dokumen Februari tersebut.
Kesulitan timbul ketika kedua pihak
mengintrepretasikan secara berbeda isi dokumen yang sama. Pemerintah berpikir
bahwa dokumen itu sudah mengamankan komitmen GAM menerima Undang-Undang NAD
sebagai sebuah langkah awal. Sedangkan GAM tampak mengerti isi dokumen itu
hanya sebagai bahan pertama untuk dibahas bersama.
Jurubicara utama GAM, Sofyan Ibrahim
Tiba, setibanya kembali di Aceh, membantah dengan keras bahwa GAM sudah
menerima Undang-Undang NAD. Perbedaan tafsir ini kemudian diperburuk oleh
unsur-unsur bersenjata yang mengklaim sebagai kekuatan GAM yang mulai menyerang
fasilitas-fasilitas pemerintah, khususnya tiang-tiang listrik dan membunuh
warga sipil yang tidak bersalah, termasuk perempuan dan anak-anak.
TNI bereaksi dengan mengerahkan lebih
banyak serdadu ke Aceh dan mengintensifkan operasi penumpasan kerusuhan.
Kejadian ini mengikuti pola bahwa setiap kali kedua pihak mencapai suatu
persetujuan, unsur-unsur di lapangan pasti mengeluarkan pernyataan-pernyataan
bantahan atau penolakan lalu melancarkan aksi kekerasan, hal yang setiap kali
merusak proses dialog.
Jadi, pertemuan ketiga, yang semestinya
dilaksanakan Juni 2002, batal digelar karena situasi buruk di lapangan. Kemudian,
19 Agustus 2002, Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru tentang Aceh:
GAM diberi kesempatan sampai akhir bulan puasa Ramadhan, berakhir 7 Desember
2002, untuk menerima tawaran otonomi khusus sebagai prasyarat bagi dialog lebih
lanjut, atau harus menghadapi kekuatan militer Indonesia.
Pada kenyataannya, proses dialog kini
terhenti, tanpa jaminan apa pun bahwa GAM akan kembali ke meja perundingan.
Sementara itu kekerasan kian meningkat dan terus menelan semakin banyak korban
jiwa. Upaya pembunuhan juga terjadi belum lama ini atas diri Gubernur Aceh.
Tidak lama sebelum berakhirnya bulan
Agustus 2002, Pemerintah memperlunak sikap dengan pengumuman dari Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan. "Kami mengharapkan babak perundingan
baru dengan GAM dalam bulan September, mungkin bukan perundingan formal, tetapi
kami akan terus meretas jalan bagi penyelesaian secara damai," demikian
pengumuman tersebut.
Basis
Dialog
Di awal September, Pemerintah
mengajukan sebuah rancangan persetujuan untuk menghentikan sikap permusuhan
kepada Henri Dunant Centre (HDC) dan kelompok penasihat. Kedua pihak ini
membuat perbaikan atas rancangan tersebut. Ini berarti keduanya menerima
rancangan itu sehingga bisa dijadikan sebagai basis bagi dialog lebih lanjut
antara Pemerintah dan GAM.
Dan memang demikianlah yang terjadi:
rancangan yang sudah diperbaiki dan dikonsolidasikan HDC itu dirundingkan
dengan wakil GAM dan dalam serangkaian pertemuan tidak langsung kedua pihak
(Pemerintah dan GAM) difasilitasi oleh diplomasi bolak-balik HDC di Singapura,
Paris, Jenewa dan Stockholm.
Proses ini makan waktu beberapa pekan.
Pada 19 November 2002, HDC mengumumkan bahwa kedua pihak telah memberi komitmen
untuk menyepapati sebuah persetujuan. Meski beberapa isu masih harus
diselesaikan, persetujuan penghentian permusuhan direncanakan untuk disepakati
9 Desember 2002.
Secara esensial, rancangan persetujuan
itu menuntut pembentukan sebuah Komite Keamanan Bersama oleh Pemerintah
Indonesia, GAM dan HDC yang terdiri dari 150 anggota. Komite ini bertugas
memantau pelaksanaan penghentian permusuhan, menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran
dan untuk mengambil langkah-langkah, termasuk sanksi-sanksi guna memulihkan
ketenangan.
Undang-Undang Otonomi Khusus NAD akan
menjadi titik awal bagi dialog semua unsur masyarakat Aceh menuju pemilihan
umum 2004. Masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk rincian mengenai
waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang mesti dilakukan
oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata dari politik.
Selagi HDC merasa yakin bahwa penandatanganan
persetujuan tersebut akan terlaksana sesuai jadwal, sebenarnya ada banyak
kejutan yang mesti diselesaikan hingga saat-saat terakhir.
Syukurlah bahwa komunitas internasional
merasa berkepentingan dalam proses ini dan menunjukkan dukungannya yaitu
menyelenggarakan konferensi negara-negara donor di Tokyo, 3 Desember 2002, 6
hari menjelang penandatanganan perjanjian tersebut. Konferensi yang dipandu
bersama oleh Jepang, AS dan badan-badan pendanaan internasional itu bertujuan
menghimpun dana bagi pembangunan kembali Aceh setelah kedua pihak
menandatnagani Persetujuan Penghentian Permusuhan itu.
Negara-negara lain yang ambil bagian
dalam konferensi itu adalah Australia, Kanada, Swedia, Denmark, Prancis,
Jerman, Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga
hadir wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program
Pembangunan PBB (UNDP) dan HDC. GAM diundang ke konferensi itu tetapi tidak
menghadirkan wakilnya.
Kegelisahan
Kawasan
Penyelenggaraan konferensi itu adalah
manifestasi keprihatinan masyarakat internasional atas kenyataan
ketidakstabilan terus-menerus di Indonesia, yang sebagiannya disebabkan oleh
perkara Aceh.
Kalau perkara Aceh dan juga perkara
Papua, Maluku dan di beberapa propinsi lain semuanya bisa diselesaikan dalam
beberapa bulan ke depan, hal ini merupakan pemulihan keadaan bagi negara-negara
tetangga Indonesia yang gelisah akan dampak dari konflik internal di Indonesia
bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Bagi Indonesia sendiri, penyelesaian
masalah-masalah internal ini, sampai tingkat tertentu, akan memulihkan
posisinya dalam komunitas internasional dan di antara investor domestik dan
asing.
Disepakati dalam konferensi Tokyo
tentang Perdamaian dan Rekonstruksi di Aceh bahwa begitu persetujuan
ditandatangani, sebuah misi multi-agen akan dikirim ke Aceh untuk menghitung
kebutuhan bagi perbaikan sosial-ekonomi di porpinsi itu. Negara-negara dan
lembaga-lembaga internasional yang berpartisipasi kemudian akan mengumpulkan
dana yang dibutuhkan bagi bantuan kemanusiaan, untuk mendukung pembubaran
pasukan, mendorong investasi jangka pendek yang berdaya guna bagi masyarakat,
perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan pembangunan infrastruktur.
Kelompok Konsultatif untuk Indonesia
(CGI) akan mengkoordinasikan bantuan tersebut, sedangkan komunitas-komunitas
lokal dan masyarakat sipil akan dilibatkan untuk menjamin bahwa dana-dana
tersebut memang sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan sesegera mungkin
secara bertanggungjawab dan transparan. Konsepnya ialah, menjamin bahwa rakyat
benar-benar bisa segera merasakan buah dari perdamaian dan dengan demikian
proses perdamaian itu sendiri diperkuat.
Persetujuan Penghentian Permusuhan
ditandatangani di Jenewa 9 Desember 2002. Tetapi pada Januari 2003 sudah mulai
kelihatan bahwa jalan menuju perdamaian benar-benar penuh tantangan, terutama
dalam dua bulan pertama. Banyak hal tergantung pada ketrampilan dan
kebijaksanaan Komite Keamanan Bersama (JSC) di bawah kendali Mayjen Thanungsak
Tuvinan dari Thailand dan wakilnya Brigjen Nogomora Lomodag dari Pilipina.
Tidak lama setelah penandatanganan
persetujuan itu, 30 Desember 2002, sudah terjadi 50 insiden pertempuran antara
kekuatan GAM dan pasukan keamanan Indonesia. Sejak Persetujuan Penghentian
Permusuhan ditegakkan, korban tewas yang jatuh memang berkurang secara berarti,
tetapi belakangan ini meningkat lagi.
Juga telah timbul soal akibat penolakan
GAM belum lama ini atas kehadiran pengamat dari Pilipina dalam ISC. GAM menilai
wakil Filipina itu tidak bisa berdiri netral karena pemerintah Pilipina
terlibat dalam pertempuran dengan gerakan Moro yang hendak memisahkan diri, dan
juga karena Indonesia pernah menjadi penengah bagi perjanjian damai antara
pemerintah Pilipina dan kelompok separatis lain di negeri itu tahun 1996. Soal
ini kemudian diselesaikan dengan kesepakatan bahwa wakil Pilipina yang sudah
ada dalam ISC dipertahankan sedangkan tambahannya digantikan oleh pengamat dari
Thailand. (Sinar Harapan)
DAMPAK umum dari penandatanganan
perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) di Jenewa 9 Desember 2002 ialah
kegembiraan besar rakyat Aceh - dan ini terutama karena perjanjian itu sudah
dianggap sebagai sebuah perjanjian perdamaian.
Rakyat Aceh merasa bahwa perdamaian
sudah di tangan mereka dan mereka tak hendak melepaskannya lagi. Tetapi
faktanya ialah, senjata terus saja menyalak. Dengan kerinduan yang begitu besar
akan perdamaian setelah sekian lama dilelahkan konflik, maka kegagalan
pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan pukulan sangat berat bagi rakyat
Aceh.
Di Jakarta, COHA yang disambut secara
berhati-hati dan tanpa banyak kritik itu dipertegas oleh komitmen Presiden
Megawati Soekarnoputri sendiri yang didemonstrasikan dengan segera mengunjungi
Aceh menyusul penandatanganan di Jenewa itu. Unit-unit GAM kembali ke
barak-barak mereka, sementara sebuah tim multi-agen dari PBB mengunjungi Aceh
untuk mengkalkulasi kebutuhan pembangunan kembali Aceh. Di Jakarta, Pemerintah
menggalang tim bantuan kemanusiaan bagi rakyat Aceh dan juga memprioritaskan
bantuan bagi warga pengungsi Aceh.
Dalam waktu sebulan JSC yang memantau
pelaksaan COHA tersebut mulai masuk Aceh. Insiden dengan korban tewas turun
secara dramatis, dan perkembangan positif ini semestinya menjadi momentum
perdamaian, tetapi nyatanya tidak demikian. Permusuhan jalan terus, sampai pada
titik yang sedemikian sulit sehingga sangat sulit dibayangkan bahwa kesepakatan
itu masih bisa dilaksanakan.
Saling tuding antara TNI dan GAM - mengenai
pelanggaran persetujuan - pun terjadi. Ini ditambah dengan menyebarnya laporan
bahwa anggota JSC diintimidasi warga sipil setempat, hal yang dibantah pihak
militer. Dengan alasan keamanan, anggota JSC pun mundur dari Aceh, ini sejalan
dengan keluhan Pemerintah bahwa JSC tidak efektif karena pernyataan-pernyataan
serba negatif dari oknum-uknum GAM tentang JSC. Ketimbang memenuhi isi COHA -
dihentikannya permusuhan - GAM justru menggalang demonstrasi pro-kemerdekaan
dan mengacau-balaukan informasi guna menciptakan persepsi umum bahwa hasil
akhir pelaksanaan pertujuan Jenewa adalah kemerdekaan Aceh.
Bersama semua itu GAM merekrut
tenaga-tenaga baru untuk perjuangannya dan mengangkat perwira-perwira baru, sekaligus
melakukan perluasan struktur politiknya dari kampung ke kampung.
Pemerintahan
bawah tanah yang dikembangkan GAM ini disertai praktik pemungutan pajak yang
disebut "Pajak Nanggroe". Ini tentu saja sebuah penyimpangan dan
tindak kejahatan.
Dengan ulah GAM ini jadwal kerja JSC
sama sekali terganggu hal yang juga berdampak pada citra buruk Henri Dunant
Centre (HDC) yang bertugas sebagai pengawas penyerahan senjata (peletakan
senjata) GAM.
HDC
Gagal
Pemerintah kemudian mengajukan protes
keras kepada HDC, menuding GAM telah melanggar kewajiban-kewajibannya dalam
COHA. Atas dasar ini Pemerintah menuntut segera diadakan sidang Dewan Bersama
(Joint Council) yang terdiri dari Pemerintah, GAM dan HDC.
Dewan Bersama ini diciptakan COHA
sendiri dengan tugas menyelesaikan perselihan akibat pelaksanaan COHA yang
tidak bisa diselesaikan JSC. Tuntutan diadakannya pertemuan Dewan Bersama itu
diajukan kepada HDC awal April 2003 dan Pemerintah menyebutnya sebagai upaya
terakhir untuk menyelamatkan COHA.
Tidak lama sesudah itu Presiden
Megawati mengirim utusan khusus kepada PM Swdia untuk menyampaikan secara resmi
kepada Pemerintah Swedia bahwa sejumlah warganegara Swedia - Hasan Di Tiro dan
beberapa letnan terkemuka pendukungnya - terlibat dalam aksi pemberontakan dan
aksi kejahatan lainnya yang menyebabkan banyaknya jatuh korban di Indonesia.
Pemerintah
Swedia menjawab dengan minta bukti-bukti konkret untuk itu, hal yang tampaknya
sedang dipersiapkan Pemerintah RI.
Dalam suratnya untuk Pemerintah RI, GAM
menolak menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah pun mulai menyiapkan
operasi militer di Aceh karena proses menuju perdamaian tampaknya sudah menjadi
berantakan.
Pertengahan April, GAM berubah pikiran,
dengan memberitahu Pemerintah RI, melalui HDC, bahwa mereka bersedia menghadiri
pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah menyambut baik hal ini, namun GAM masih
harus memberi persetujuan tentang tempat dan tanggal pertemuan tersebut.
Pemerintah memilih Tokyo, GAM memilih Jenewa sebagai tempat pertemuan.
Dengan enggan Pemerintah menyetujui
tempat Jenewa dan menetapkan pertemuan pada tanggal 25 April. GAM setuju tetapi
tidak lama kemudian berubah pikiran lagi, terutama menyangkut tanggal
pertemuan.
Pemerintah menawarkan kompromi bahwa
pertemuan pembukaan 25 April dan pertemuan sesungguhnya tanggal 26 dan 27.
Tetapi tanpa alasan yang jelas HDC tidak bisa meyakinkan GAM untuk menerima
kompromi dari Pemerintah RI.
GAM hanya mau bertemu tanggal 27 April,
hari Minggu, tetapi seluruh soal tidak bisa hanya diselesaikan dalam satu hari
pertemuan. HDC tidak bisa membawa GAM ke meja pertemuan sehingga Dewan Bersama
gagal terlaksana.
Selalu
Berkhianat
Pemerintah sudah mengambil semua
langkah yang fleksibel bersamaan dengan kesabaran yang kian mendekati batas. Di
pihak lain GAM sama sekali tidak menunjukkan fleksibiltasnya dengan alasan yang
tidak jelas, dan juga tampak mempermainkan itikad baik Pemerintah.
Maka pertanyaan besar sekarang ialah:
Apakah berikutnya? Jawabannya boleh jadi bisa ditarik dari kelakuan GAM di masa
lalu. Sejak perundingan dimulai awal Januari 2000, kelakuan khas GAM adalah
berkhianat! GAM menerima suatu pengaturan, seperti jeda kemanusiaan, tapi menggunakannya
hanya untuk tujuan konsolidasi kekuatan, hanya untuk membuka kembali
pertempuran ketika pihaknya yakin memiliki kekuatan politik dan senjata yang
memadai. Di sini lain Pemerintah selalu mencoba konsisten dengan pernyataan 19
Agustus bahwa akan berpegang teguh pada strategi menggunakan semua jalan damai
sebelum memutuskan sebuah "tindakan yang tepat" yang oleh sebagian
besar orang ditafsirkan sebagai operasi militer.
Pernyataan bersama 10 Mei dan COHA 9
Desember memang bukanlah dokumen yang sempurna tetapi memadai sebagai peta
jalan yang jelas dengan penerimaan Undang-Undang NAD sebagai titik tolak,
disusul dengan penghentian permusuhan, dialog segenap unsur masyarakat Aceh dan
akhirnya pemilihan umum 2004.
Ketika format yang akurat dan jadwal
dialog semua unsur Aceh itu belum diputuskan, pemilihan yang disebutkan dalam
COHA adalah pemilihan umum Indonesia 2004. Hal ini sama sekali tidak bisa
ditafsirkan sebagai berkaitan dengan referendum dan kemerdekaan.
Faktanya ialah, komitmen fundamental
Pemerintah dan GAM telah dinyatakan dalam bagian pembukaan COHA, di mana
dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan GAM mempunyai sasaran obyektif yang
sama memenuhi aspirasi rakyat Aceh untuk hidup dengan aman secara bermartabat,
damai, sejahtera dan adil.
Tetapi yang terjadi, GAM tidak berupaya
mencari jalan menuju perdamaian, melainkan menjadikan perdamaian sebagai jalan
untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Padahal satu-satunya jalan untuk mencapai
tujuan bersama ialah dengan mematuhi naskah dan semangat COHA dan
mempertahankan fokus pada tujuan bersama.
Dengan menjalankan seluruh kesabaran
dan flesibilitas di hadapan GAM yang "bertingkah", Pemerintah yakin
bahwa telah mempertahankan sebuah pilihan moral yang tinggi. Kalau sekarang
Pemerintah harus memformulasikan kembali kebijakan atas Aceh, hendaknya tetap
dengan moral yang tinggi itu dan dengan itu Pemerintah bisa memilih salah satu
dari dua pilihan: menjalankan operasi militer, atau mencoba lagi jalan damai.
Memulai kembali proses perdamaian, untuk
sebagian orang, secara politis, tampak tidak lagi menjadi pilihan yang menarik.
Sedangkan di sisi lain, pandangan bahwa perdamaian harus diupayakan dengan
segala cara sudah dinyatakan oleh banyak politisi terkemuka, oleh para ulama
dan orang-orang Aceh pada umumnya. Dalam COHA ditetapkan batas waktu 5 bulan
bagi GAM merampungkan proses melepaskan senjata. Secara teoretis ini baru akan
berakhir 9 Juli mendatang, sehingga sesudah tanggal itu akan menjadi sah bagi
Pemerintah bila hendak melancarkan operasi militer di Aceh. Hal inilah yang
kini sedang terus dibicarakan.
Perang
Kemanusiaan
Ketika operasi militer akhirnya
diputuskan, operasi itu mesti dipersiapkan secara berhati-hati, sehingga yang
terjadi di lapangan nanti bukanlah perang dalam pengertian tradisional
melainkan perang kemanusiaan yang didasarkan pada pengakuan bahwa situasi
politik yang sedemikian rumit di Aceh tidak bisa semata-mata diselesaikan
secara militer.
Lebih dari itu, ada risiko bahwa aksi
militer bisa menjadi bumerang bagi RI kalau korban sipil menjadi berlebihan.
Karenanya operasi militer harus dirancang tidak saja untuk memenangkan
pertempuran dan kontak senjata, tetapi terutama memenangkan hati dan pikiran
rakyat Aceh. Tuntutan dewasa ini ialah, walapun operasi militer itu sah adanya,
operasi itu sendiri harus sedemikian rupa sehingga menghindari "kerusakan
besar-besaran". Apabila korban sipil berjatuhan, rasa dendam baru timbul
pada sebagian rakyat Aceh, dan ini hanya akan mempersulit pencapaian tujuan
dari apa yang disebut sebagai "perang kemanusiaan" itu.
Sesungguhnya, masyarakat Aceh sudah
seharusnya mendukung operasi militer itu, setidaknya sampai tingkat tertentu,
dan oleh karena itu operasi tersebut harus dijalankan dengan cara yang tidak
merugikan kepentingan dan hidup mereka. Dengan kata lain, aspek kemanusiaan
dari operasi militer harus menjadi pertimbangan utama. Ini berarti bahwa
operasi militer tidak berjalan sendirian, melainkan diintegrasikan dengan
upaya-upaya lain yang dijalankan serempak di bidang sosial, ekonomi, politik
dan lain-lain.
Di atas semuanya itu, operasi militer
tersebut haruslah sesingkat mungkin. Seperti kata filosof militer Cina, Sun
Tzu: "Belum ada contoh dari bangsa manapun yang memetik keuntungan dari
perang yang panjang". Kasus Aceh bisa menjadi kekecualian bagi kata-kata
Sun Tzu itu, bila nanti harus terjadi perang 26 tahun lagi, sebagaimana telah
terjadi sebelumnya, di Aceh. (Sinar Harapan)
Sumber : http://www.kbri-canberra.org.au
NAMA : RIFAN . EFENDI
NPM : 35110933
KELAS : 2 DB 03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar