Rabu, 14 Maret 2012

KONFLIK KEWARGANEGARAAN


57 Sengketa Lahan di Sumsel Rawan Konflik

Kabar Palembang - Sumsel memang potensial untuk penanaman kelapa sawit.  Menurut data Dinas Perkebunan Sumsel, hingga tahun 2010 luas perkebunan kelapa sawit di provinsi ini mencapai 818.248 hektar—lebih cepat dari rancangan tata ruang wilayah (RTRW) semula.
Seharusnya, luas kebun sawit lebih dari 800 hektar di Sumsel tersebut baru tercapai pada tahun 2012.
Namun, kepemilikan lahan sawit ini timpang. Sebanyak 55,56 persen kebun sawit di Sumsel itu merupakan kebun inti perusahaan. Sisanya sebanyak 28,89 persen merupakan kebun plasma, dan hanya 15,55 persen yang merupakan kebun sawit rakyat. Tidak itu saja yang membuat nyinyir banyak pihak. Sejumlah perkebunan sawit di Sumsel itu dimiliki perusahaan asing sehingga banyak keuntungan sawit mengalir ke luar negeri.
Badan Pertanahan Nasional Sumatera Selatan mencatat, saat ini ada 30 lahan perkebunan yang sengketanya belum terselesaikan.
Bicara sengketa lahan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan punya data sendiri dan kasus kekerasan yang terjadi antara Desa Sodong dan pihak swasta di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, hanyalah satu dari banyak kasus perebutan lahan yang berujung konflik.
Menurut catatan Walhi Sumsel, masih ada sekitar 57 lokasi  sengketa lahan di wilayah Sumsel yang berpotensi menimbulkan konflik. Ke 57 lokasi itu berada di sembilan kabupaten yakni di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Palembang, Banyuasin, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Muara Enim, OKU Timur, dan Lubuk Linggau.
“Sengketa tanah untuk perkebunan sudah terjadi sejak 1987 seiring masuknya pihak swasta untuk membuka perkebunan dengan mengambil tanah rakyat. Dari tiga tahun terakhir ini saja, kami mencatat ada 57 kasus yang terjadi di Sumsel. Kebanyakan dari pembukaan lahan perkebunan oleh perusahaan swasta," ujar Direktur Walhi Sumsel, Anwar Sadat, Jumat (16/12) lalu.
Walhi mencatat, selama dua tahun terakhir, konflik lahan terus meningkat. Sedikitnya telah ada belasan aksi masyarakat karena konflik lahan sejak Januari 2011. Tahun 2010, jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya, menjadi sekitar 40 konflik, mulai dari unjukrasa hingga perusakan.
Menurut Anwar, konflik terjadi karena saat akan memberikan izin pembukaan lahan ke pihak swasta, pemerintah biasanya hanya melihat sisi formal kepemilikan lahan saja, tidak melihat sisi historis dan sosiologis. Akibatnya rakyat dirugikan karena kehilangan lahan sumber hidup mereka.
Upaya perusahaan
Dari pihak perusahaan perkebunan, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Cara-cara negosiasi dan pemberian sumbangan ditempuh untuk mencari jalan tengah penyelesaian konflik. Termasuk juga membina warga untuk meningkatkan taraf hidup mereka.
Tapi bicara kesejahteraan, rakyat sekitar kadang merasa lebih berhak mendapatkan keuntungan dan akhirnya mengabaikan segala bentuk aturan, menolak melepas lahan tanpa didukung bukti kepemilikan yang jelas dan kuat. Begitupun perusahaan, tak jarang—berbekal izin perluasan lahan yang mereka kantongi, melakukan penggusuran, tanpa mengabaikan kepentingan hidup warga sekitar.
Karena itulah Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Singgih Himawan mengatakan, kepemilikan lahan oleh perusahaan swasta penting untuk ditata ulang untuk meredam konflik.
Menurut Singgih, Salah satu upaya mengurangi potensi konflik adalah dengan menggeser kepemilikan kebun sawit menjadi 60 persen kebun masyarakat dan 40 persen perusahaan. Artinya, pemerintah kabupaten dan kota perlu membatasi pemberian izin pada perusahaan perkebunan dan lebih memprioritaskan masyarakat.
Bagaimanapun, pembukaan perkebunan sawit oleh swasta tak disangkal telah membuka dan menggerakkan ekonomi di berbagai daerah terpencil. Namun, penting pula bagi pemerintah untuk lebih bijaksana dalam memberikan izin pembukaan perkebunan. Jangan sampai kemajuan justru membuat masyarakat kian merasa terpinggirkan di tanah kelahirannya sendiri.

NAMA : RIFAN . EFENDI
NPM : 35110933
KELAS : 2 DB 03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar